Selasa, 12 Juni 2012

Gempa 6.1SR Sukabumi


Efek Gempa 6,1 SR di Sukabumi, 444 Rumah Rusak dan 2 Orang Luka


Rachmadin Ismail - detikNews
Rabu, 06/06/2012 18:38 WIB
Jakarta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terus mendata kerusakan akibat gempa berkekuatan 6,1 Skala Richter (SR) di Sukabumi. Data sementara, ada 444 rumah rusak dan dua orang terluka.

"Hingga saat ini pukul 18.00 WIB dampak gempa 6,1 SR di barat daya Sukabumi, tercatat 2 orang luka ringan dan 444 rumah rusak," kata Kepala Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, lewat pesan tertulis, Rabu (6/6/2012).

Menurut Sutopo, kerusakan rumah tersebar di 20 desa dari 12 kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Dari 444 rumah, 19 diantaranya rusak berat, 153 rusak sedang, dan 272 rusak ringan.

"Kerusakan rumah terbanyak terdapat di Kec Cilodog yaitu 269 rusak, yaitu 14 rusak berat, 120 rusak sedang, dan 135 rusak ringan. Kerusakan di Kecamatan Cilodog tersebut tersebar di 5 desa yaitu desa Cikarang, Cilodog, Tegalega, Cipamingkis, dan Mekar Jaya," jelas Sutopo.

Seperti diketahui gempa berkekuatan 6.1 Skala Richter mengguncang Sukabumi, Jawa Barat, pada Senin (4/6) pukul 18.18 WIB. Pusat gempa berada di kedalaman 24 kilometer dan berjarak 121 Km dari Sukabumi.

Keterangan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) lokasi pasti gempa ada di titik 7.99 LS-106.19 BT. Tidak ada potensi tsunami akibat gempa ini. Gempa yang cukup besar ini terasa hingga ke beberapa daerah. Informasi yang dikumpulkan detikcom beberapa daerah yang merasakan goyangan akibat gempa adalah Sukabumi, Jakarta, Bogor, dan Bandung.

TRC BNPB dan BPBD Sukabumi masih di daerah untuk melakukan pendataan bencana.

(mad/ndr)

Minggu, 20 Mei 2012

Gempa Goyang Jepang


Gempa Goyang Jepang

Nurul Hidayati - detikNews
Minggu, 20/05/2012 16:44 WIB


Tokyo Jepang digoyang dua kali gempa dalam rentang 8 menit, Minggu (20/5/2012). Satu di antara gempa berkekuatan 6,2 SR namun tidak ada laporan kerusakan dan peringatan tsunami.

Gempa 6,2 SR terjadi pukul 16.20 waktu setempat, diikuti gempa susulan pada skala 5,7 SR pada pukul 16.28. Demikian diberitakan AFP.

USGS memperkirakan kekuatan gempa pertama pada skala 6. Kedalaman pusat gempa 10 km.

"Ketinggian laut mungkin berubah sedikit terkait gempa (pertama) namun tidak perlu dikhawatirkan kerusakan akibat itu," tulisnya.

Gempa dahsyat di Jepang terjadi pada 11 Mei 2011 dengan kekuatan 9,0 SR, yang memicu tsunami besar. Sebanyak 19 ribu orang tewas atau hilang.

(nrl/nwk)



http://news.detik.com/read/2012/05/20/164410/1920294/1148/gempa-goyang-jepang?9922032

M6.0 - 4km ENE of Camposanto, Italy


M6.0 - 4km ENE of Camposanto, Italy2012-05-20 02:03:52 UTC
Earthquake location 44.800°N, 11.192°Ehttp://earthquake.usgs.gov/earthquakes/eventpage/usb0009tk0#shakemap

Summary

Location and Magnitude contributed by: USGS, NEIS, Golden, Colorado (and predecessors)

General

200 km
200 mi
Powered by Leaflet
Italy
44.800°N, 11.192°E
Depth: 5.1km

Event Time

  1. 2012-05-20 02:03:52 UTC
  2. 2012-05-20 04:03:52 UTC+02:00 at epicenter
  3. 2012-05-20 09:03:52 UTC+07:00 system time

Nearby Cities

  1. 4km (2mi) ENE of Camposanto, Italy
  2. 5km (3mi) SE of San Felice sul Panaro, Italy
  3. 8km (5mi) WSW of Finale Emilia, Italy
  4. 9km (6mi) NNE of Crevalcore, Italy
  5. 139km (86mi) NW of San Marino, San Marino

Tectonic Summary

Seismotectonics of the Mediterranean Region and Vicinity

The Mediterranean region is seismically active due to the northward convergence (4-10 mm/yr) of the African plate with respect to the Eurasian plate along a complex plate boundary. This convergence began approximately 50 Ma and was associated with the closure of the Tethys Sea. The modern day remnant of the Tethys Sea is the Mediterranean Sea. The highest rates of seismicity in the Mediterranean region are found along the Hellenic subduction zone of southern Greece, along the North Anatolian Fault Zone of western Turkey and the Calabrian subduction zone of southern Italy. Local high rates of convergence at the Hellenic subduction zone (35mm/yr) are associated with back-arc spreading throughout Greece and western Turkey above the subducting Mediterranean oceanic crust. Crustal normal faulting throughout this region is a manifestation of extensional tectonics associated with the back-arc spreading. The region of the Marmara Sea is a transition zone between this extensional regime, to the west, and the strike-slip regime of the North Anatolian Fault Zone, to the east. The North Anatolian Fault accommodates much of the right-lateral horizontal motion (23-24 mm/yr) between the Anatolian micro-plate and Eurasian plate as the Anatolian micro-plate is being pushed westward to further accommodate closure of the Mediterranean basin caused by the collision of the African and Arabian plates in southeastern Turkey. Subduction of the Mediterranean Sea floor beneath the Tyrrhenian Sea at the Calabrian subduction zone causes a significant zone of seismicity around Sicily and southern Italy. Active volcanoes are located above intermediate depth earthquakes in the Cyclades of the Aegean Sea and in southern Italy.
In the Mediterranean region there is a written record, several centuries long, documenting pre-instrumental seismicity (pre-20th century). Earthquakes have historically caused widespread damage across central and southern Greece, Cyprus, Sicily, Crete, the Nile Delta, Northern Libya, the Atlas Mountains of North Africa and the Iberian Peninsula. The 1903 M8.2 Kythera earthquake and the 1926 M7.8 Rhodes earthquakes are the largest instrumentally recorded Mediterranean earthquakes, both of which are associated with subduction zone tectonics. Between 1939 and 1999 a series of devastating M7+ strike-slip earthquakes propagated westward along the North Anatolian Fault Zone, beginning with the 1939 M7.8 Erzincan earthquake on the eastern end of the North Anatolian Fault system. The 1999 M7.6 Izmit earthquake, located on the westward end of the fault, struck one of Turkey's most densely populated and industrialized urban areas killing, more than 17,000 people. Although seismicity rates are comparatively low along the northern margin of the African continent, large destructive earthquakes have been recorded and reported from Morocco in the western Mediterranean, to the Dead Sea in the eastern Mediterranean. The 1980 M7.3 El Asnam earthquake was one of Africa's largest and most destructive earthquakes within the 20th century.
Large earthquakes throughout the Mediterranean region have also been known to produce significant and damaging tsunamis. One of the more prominent historical earthquakes within the region is the Lisbon earthquake of November 1, 1755, whose magnitude has been estimated from non-instrumental data to be about 8.0. The 1755 Lisbon earthquake is thought to have occurred within or near the Azores-Gibraltar transform fault, which defines the boundary between the African and Eurasian plates off the west coast of Morocco and Portugal. The earthquake is notable for both a large death toll of approximately 60,000 people and for generating a tsunami that swept up the Portuguese coast inundating coastal villages and Lisbon. An earthquake of approximately M8.0 near Sicily in 1693 generated a large tsunami wave that destroyed numerous towns along Sicily's east coast. The M7.2 December 28, 1908 Messina earthquake is the deadliest documented European earthquake. The combination of severe ground shaking and a local tsunami caused an estimated 60,000 to 120,000 fatalities.

ShakeMap

Instrumental Intensity

ShakeMap Intensity Image



Italia diguncang gempa, tiga orang tewas


Italia diguncang gempa, tiga orang tewas

Terbaru  20 Mei 2012 - 14:25 WIB
Gempa Italia
Balaikota Sant Agostino rusak parah akibat gempa yang mengguncang Italia Utara.
Sebuah gempa berkekuatan 6,0 dalam skala Richter mengguncang kawasan sebelah utara kota Bologna, Italia, Minggu (20/5) dan mengakibatkan sedikitnya tiga orang meninggal dunia.
Gempa itu terjadi di kedalaman 10km dan terjadi pada pukul 4.00 dini hari atau sekitar pukul 9.00 waktu Indonesia.
Selain itu gempa yang cukup kencang tersebut membuat ribuan orang berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri.
Aparat pemerintah setempat mengatakan ketiga korban tewas terjadi saat bangunan tempat mereka bekerja runtuh.
Sejumlah televisi Italia menayangkan kerusakan berbagai bangunan termasuk pabrik dan gereja. Sementara itu, sejumlah gempa susulan dilaporkan telah terjadi.
Televisi juga menayangkan warga tengah membersihkan puing-puing rumah, kantor dan bangunan-bangunan kuno, termasuk bagian dari benteng kuno di salah satu kota.
Tim penyelamat saat ini menyisir kawasan bencana karena muncul kabar sejumlah orang terjebak di bawah reruntuhan bangunan.
Wartawan BBC di Roma Alan Johnston melaporkan Italia Utara kerap diguncang gempa kecil namun negeri itu sudah terbiasa menghadapi bencana ini.
Gempa besar terakhir di Italia terjadi di kota L'Aquilla pada 2009 yang menewaskan hampir 300 orang.

Senin, 07 Mei 2012

Seribuan Burung Mati Misterius di Pantai Peru


Seribuan Burung Mati Misterius di Pantai Peru

Belum diketahui sebab kematian burung-burung itu. Masyarakat diminta menjauh dari pantai.

MINGGU, 6 MEI 2012, 14:57 WIB
Eko Huda S
VIVAnews - Sekitar 1.000 burung mati di pantai Peru. Sebagian besar adalah burung Pelikan. Tak hanya burung, lumba-lumba juga mati secara misterius di pantai itu.

Bangkai burung dan lumba-lumba itu berceceran di pantai Pasifik utara yang dekat dengan Ibukota Peru, Lima. Pantai itu biasanya selalu padat oleh wisatawan.

Sebenarnya, masa liburan di Peru telah berlalu. Namun, paantai itu tetap menarik perhatian wisatawan, baik lokal maupun internasioal, yang ingin berselancar.

Menurut laman BBC, Minggu 6 Mei 2012, Kementerian Kesehatan Peru telah meminta masyarakat setempat untuk tidak mendekati pantai hingga peringatan itu dicabut. Masyarakat diminta mengenakan sarung tangan, masker, dan perlengkapan pengaman lainnya saat memegang bangkai burung atau pun lumba-lumba.

Saat ini, proses penyelidikan peristiwa misterius itu tengah berlangsung. Dari pemeriksaan sementara, sejumlah lumba-lumba itu mati karena terserang virus. Epidemi virus serupa memang pernah mewabah di Peru pada masa lalu. Virus ini membunuh binatang yang ada di pantai Peru, Meksiko, dan Amerika Serikat.

Namun, hingga saat ini dinas kesehatan Peru belum mengetahui penyebab matinya ribuan burung di Peru itu. Salah satu teori yang bisa menjelaskan kemungkinan penyebab kematian burung-burung itu adalah pergeseran arus laut yang menyebabkan banyak ikan menjauh dari garis pantai. Sehingga burung-burung itu tak mendapatkan makanan sama sekali. (umi)

Sabtu, 05 Mei 2012

Kebangkitan Roh Krakatau dari Dasar Laut


Kebangkitan Roh Krakatau dari Dasar Laut
| Tri Wahono | Jumat, 2 Desember 2011 | 17:24 WIB
TROPEN MUSEUMLedakan dahsyat dari bawah laut yang mengawali lahirnya Anak Krakatau terekam pada tahun 1928-1929.
KOMPAS.com - Kebangkitan roh Krakatau itu awalnya dilihat oleh sekelompok nelayan pada suatu sore, 29 Juni 1927. "Dengan suara bergemuruh, gelembung-gelembung gas yang sangat besar mendadak menyembul ke permukaan laut," tulis Simon Winchester (2003), menggambarkan kemunculan gunung baru dari bekas kaldera Krakatau, "Gelembung-gelembung itu meledak menjadi awan-awan yang menyemburkan abu dan gas belerang yang berbau busuk."
Mendengar kabar samar dari warga, pada Januari 1928, geolog Belanda, JMW Nash, datang ke bekas kaldera Krakatau. Dia pun menyaksikan munculnya pulau baru atau lebih persisnya lapisan pasir berbentuk separuh lingkaran sepanjang sekitar 10 meter. Di pusat lengkungan, dia melihat gundukan batuan setinggi 8,93 meter di atas permukaan laut yang masih berasap. Lapisan pasir ini merupakan embrio kelahiran pulau gunung api yang diberi nama: Anak Krakatau. Gundukan yang menjadi pusat semburan itu kemudian terus menyembul ke atas dan menjadi kawahnya.
Kemunculan Anak Krakatau persis dengan ramalan Verbeek. Pada 1885, setelah beberapa kali kunjungan ke Krakatau, dia memperingatkan tentang kemungkinan kebangkitan roh Krakatau, "...jika gunung api ini melakukan aktivitas baru, diperkirakan pulau-pulau akan muncul di tengah cekungan laut yang dikitari oleh puncak Rakata, Sertung, dan Panjang, sebagaimana Pulau Kaimeni muncul dalam Kelompok Santorini, dan persis sebagaimana kawah Danan dan Perbuatan itu sendiri dulu dibentuk di laut di dalam dinding-dinding kawah purba."
Kelahiran kembali Anak Krakatau pasca-kehancuran 1883 menguatkan kisah tentang Proto Krakatau. Spekulasi ini awalnya disampaikan oleh George Adriaan De Neve yang menduga kaldera kuno Krakatau meledak pada abad ketiga masehi. Dia mendasarkan dugaannya pada dokumen sejarah dan deposit vulkanik yang terdapat di bawah laut Selat Jawa.
"Ada bukti bahwa jauh sebelum letusan 1883—barangkali 60.000 tahun yang lalu atau sebelum itu—ada sebuah gunung yang jauh lebih besar yang oleh beberapa orang geolog disebut Krakatau Purba yang mereka yakini setinggi 6.000 kaki dan terpusat di sebuah pulau yang nyaris bundar sempurna, dengan diameter 9 mil," sebut Winchester.
Namun, sebuah letusan dahsyat meluluhlantakkan pulau itu sehingga terbentuk gugusan pulau yang terdiri dari empat buah pulau kecil. Di ujung utara gugusan itu ada dua pulau karang yang rendah dan berbentuk bulan sabit, yang di timur disebut Panjang dan di sebelah barat disebut Sertung. Di dalam lingkaran yang dibentuk kedua pulau tadi, terdapat Polish Hat, yaitu potongan kecil batuan vulkanik, dan sebuah pulau yang terdiri dari tiga puncak, yaitu Rakata di puncak selatan, Danan di bagian tengah, dan Perbuatan di utara.
Keberadaan pulau-pulau ini sebelum letusan 1883 memang tak terbantahkan. Dari laporan-laporan perjalanan penjelajah Barat, pulau-pulau itu dulunya telah dihuni. Kapal Resolution dan Discovery yang dipimpin penjelajah Inggris terkenal, Kapten James Cook, pernah berhenti di Pulau Krakatau dua kali. Kedua kapal itu sedang dalam perjalanan mencari dunia selatan. Seperti yang dicatat oleh kolega Cook, botanikus Joseph Banks, pada Januari 1771, "Di malam hari membuang sauh di bawah pulau tinggi yang di kalangan para pelaut disebut Cracatoa dan oleh orang-orang India Pulo Racatta."
Banks melanjutkan laporannya, "... pagi ini ketika bangun kami melihat ada banyak rumah dan pohon-pohon perkebunan di Cracatoa, jadi barangkali kapal bisa menambah bekal di sini." Enam tahun kemudian Cook kembali singgah di sana dan masih menemukan desa-desa dengan ladang lada dan aneka tanaman lainnya.
Jauh sebelum para geolog berspekulasi soal keberadaan Proto Krakatau, orang-orang Jawa kuno sebenarnya telah memiliki keyakinan tentang keberadaan gunung ini. Bahkan, dalam mitologi Jawa, konon, Pulau Sumatera dan Jawa awalnya masih menyatu. Letusan Krakatau dianggap telah memisahkan daratan ini hingga menjadi dua pulau, seperti dituturkan dalam Kitab Raja Purwa yang ditulis pujangga Surakarta, Ronggowarsito, pada tahun 1869.
Alkisah, daratan Jawa dan Sumatera waktu itu masih menyatu. Suatu ketika, Sri Maharaja Kanwa, yang memimpin tanah Jawa, terbawa angkara dan menikam seorang pertapa yang bernama Resi Prakampa hingga tewas. Seketika itu juga Gunung Batuwara terdengar bergemuruh. Gunung Kapi—nama lama Krakatau—mengimbanginya dengan letusan dahsyat, keluar apinya merah mengangkasa, guruh guntur, air pasang menggelora, lalu datang bencana berupa air bah dan hujan lebat. Nyala api yang merah membara tidak terpadamkan oleh air, malah semakin besar. Gunung Kapi runtuh bercerai-berai masuk ke dalam bumi.
Air laut menggenangi daratan, mencapai Gunung Batuwara atau Gunung Pulosari ke timur hingga Gunung Kamula, Gunung Pangrango atau Gunung Gede, dan ke barat hingga Gunung Rajabasa di Lampung. Ketika laut telah surut kembali, Krakatau dan tanah-tanah di sekitarnya telah menjadi lautan. Di bagian barat laut dinamakan Pulau Sumatera dan di bagian timur dinamakan Jawa.
Narasi dalam Kitab Raja Purwa ini, bagi sebagian ilmuwan Barat hanyalah dongeng yang awalnya dipandang sebelah mata. Kitab ini nyaris tak pernah menjadi rujukan penelitian tentang Krakatau. Namun, belakangan, temuan lapisan endapan yang jauh lebih tua dibandingkan letusan 1883 menguatkan bahwa Krakatau pernah meletus sebelum tahun itu.
"Sebelum pembentukan kaldera 1883, Krakatau minimal dua kali meletus. Kami menemukan dua kelompok hasil letusan kaldera di bawah lapisan endapan yang terbentuk pada tahun 1883, lokasi persisnya di singkapan timur-tenggara Pulau Rakata dan Panjang," kata Sutikno.
Pendataan karbon yang dilakukan oleh Haraldur Sigurdsson tahun 1999 menemukan, di bawah endapan akibat letusan 1883 terdapat endapan yang terbentuk pada tahun 1215 masehi dan 6600 sebelum masehi.
Ahli tsunami, Gegar Prasetya, juga meyakini keberadaan Krakatau Purba yang pernah meletus jauh lebih hebat dibandingkan letusan tahun 1883. Bahkan, tidak menutup kemungkinan "dongeng" tentang pemisahan Jawa dan Sumatera akibat letusan Krakatau itu adalah kenyataan geologi.
Ken Wohletz dari Los Alamos National Laboratory telah membuat simulasi tentang kemungkinan pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera itu akibat letusan leluhur Anak Krakatau. Kesimpulannya, letusan super (supereruption) berskala 8 dalam indeks letusan gunung api (volcanic explosivity index /VEI) sebagaimana letusan gunung api super (supervolcano) Toba di Sumatera Utara bisa sangat mungkin pernah terjadi di Krakatau.
Tak gampang membayangkan bagaimana kedahsyatan letusan Proto Krakatau itu, mengingat letusan Krakatau pada 1883 saja sudah sedemikian mengerikan dan menimbulkan petaka tak terperi.(Tim Penulis: Ahmad Arif, Indira Permanasari, Yulvianus Harjono, C Anto Saptowalyono)

Ikuti perkembangan Ekspedisi Cincin Api di: www.cincinapi.com atau melalui Facebook:ekspedisikompas atau Twitter @ekspedisikompas

http://sains.kompas.com/read/2011/12/02/17242939/Kebangkitan.Roh.Krakatau.dari.Dasar.Laut

Jumat, 04 Mei 2012

Merapi Sudah Mulai Melembung


Merapi Sudah Mulai "Melembung"
Yunanto Wiji Utomo | Tri Wahono | Selasa, 1 Mei 2012 | 18:52 WIB


KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKOSetahun Pascaerupsi Merapi - Gunung Merapi terlihat dari bekas obyek wisata Kaliadem di Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, yang masih tertimbun material sisa erupsi, Selasa (25/10/2011). Setahun pascaerupsi Merapi, Pemerintah belum melakukan pembenahan secara signifikan pada berbagai kawasan yang terkena dampak erupsi.
JAKARTA, KOMPAS.com — Gunung Merapi yang terletak di utara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah mulai menggemuk.
Inilah salah satu temuan hasil riset kerja sama antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Riset dan Teknologi, Japan Science and Technology (JST), dan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dipaparkan pada Selasa (1/5/2012) di Kantor COREMAP LIPI, Jakarta.
"Tahun 2010 Merapi meletus. Ternyata tahun 2011 itu Merapi sudah mengalami deformasi. Magma sudah mengisi Merapi," ungkap Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Menurut Surono, deformasi terjadi ketika magma sudah mengisi gunung berapi dan gunung mulai melembung. Deformasi bisa diamati dengan melakukan observasi kembang kempis gunung, getaran, dan panas dinginnya uap air.

"Saat ini Merapi sudah mulai melembung. Dalam waktu 2 bulan, Merapi sudah melembung 3 meter," kata Surono.
Menurut Surono, melembungnya Merapi sudah harus diikuti dengan pengamatan aktivitas vulkanik secara terus-menerus. Harus dicermati kecepatan suplai magma dan apakah magma sudah hampir dikeluarkan.
Pengamatan bisa dilakukan dengan melihat aktivitas kegempaan. Bila gempa terdeteksi pada 1 km, maka perlu diwaspadai. Saat ini kegempaan masih pada 5 km.
Surono mengatakan, waktu letusan Merapi belum bisa diprediksi. Namun, aktivitas vulkanik Merapi diketahui mengalami perubahan.
"Tidak ada kubah. Jadi benar-benar bolong," kata Surono.
Ia mengatakan, kewaspadaan dan kesiapsiagaan perlu ditingkatkan. Persoalan peralatan dan sumber daya manusia yang memantau aktivitas gunung berapi perlu diselesaikan.
United States Geological Survey (USGS) memprediksi, jika antisipasi letusan Merapi tak dipersiapkan, maka jumlah korban bisa mencapai puluhan ribu jiwa.


http://sains.kompas.com/read/2012/05/01/18525191/Merapi.Sudah.Mulai.Melembung

Minggu, 22 April 2012

Mystery surrounds deaths of 877 dolphins washed ashore in Peru


Mystery surrounds deaths of 877 dolphins washed ashore in Peru

By Marilia Brocchetto, CNN
April 22, 2012 -- Updated 1103 GMT (1903 HKT)
Experts measure a dead dolphin on the northern coast of Peru, some 750 km north of Lima, on April 11.
Experts measure a dead dolphin on the northern coast of Peru, some 750 km north of Lima, on April 11.
STORY HIGHLIGHTS
  • Official: The dolphins were found over a 220-kilometer (137-mile) area of coastal Peru this year
  • Report: Most of the dolphins were found in an advanced state of decomposition
  • The dolphins were not caused by starvation or poisoning with pesticides, officials say
  • Dozens of dolphins have also washed up in the United States and Brazil this year
(CNN) -- Environmental authorities are investigating the deaths of more than 800 dolphins that have washed up on the northern coast of Peru this year.
The dolphins may have died from an outbreak of Morbillivirus or Brucella bacteria, said Peruvian Deputy Environment Minister Gabriel Quijandria, according to Peru's state-run Andina news agency.
Quijandria said Thursday that 877 dolphins have washed up in a 220-kilometer (137-mile) area from Punta Aguja to Lambayeque, in the north of the country.
More than 80% of those dolphins were found in an advanced state of decomposition, making it difficult to study their deaths, according to Andina.
Earlier last week, the Peruvian government put together a panel from different ministries to analyze a report by the Peruvian Sea Institute (IMARPE).
Officials have been able to conclude that the dolphins' deaths were not due to lack of food, interaction with fisheries, poisoning with pesticides, biotoxin poisoning or contamination by heavy metals.
The results of a histopathological analysis -- which would indicate possible contamination by a virus -- are expected to be ready in the coming days.
The dolphin deaths in Peru are just the latest in a worldwide trend.
In February, 179 dolphins --108 of which were dead -- washed ashore in Cape Cod, in eastern United States, according to the International Fund for Animal Welfare. Marine biologists are still trying to determine the cause of those deaths.
In early March, amateur video taken from a beach in Rio de Janeiro, Brazil, showed more than 30 dolphins on shore. In that instance, all dolphins were safely returned to the sea.