BNPB: Pelajaran Berharga dari Tsunami Jepang
Sutopo menjelaskan, saat bencana, media tidak ada yang menyiarkan hal-hal yang menyedihkan
VIVAnews - Peristiwa tsunami yang melululantahkan Jepang sudah terjadi sekitar 1 tahun lalu. Gempa berkekuatan 9 skala Richter diikuti gelombang tsunami hingga setinggi 20 meter.
Dampak yang ditimbulkan, 15.769 orang meninggal, 4.227 orang hilang, dan 470.000 orang mengungsi. Total kerugian ekonomi US$220 miliar atau setara 3,4 persen dari pendapatan Jepang. Atau hampir seperlima GDP Indonesia saat ini. Suatu kerugian yang luar biasa besar.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menilai Jepang sebagai negara yang paling siap menghadapi gempa dan tsunami. Berbagai upaya stuktural dan non struktural telah dilakukan dalam mitigasi bencana.
Menurut Sutopo, peradaban Jepang telah melakukan antisipasi tsunami sejak abad 9 Masehi. Bahkan, Pantai Sendai telah dilindungi berbagai bentuk perlindungan tsunami, mulai dari breakwater lepas pantai, tanggul, hutan pantai sampai sistem peringatan dini.
Selain itu, di Kota Kamaishi dibangun pemecah gelombang hingga kedalaman 19 meter selama 31 tahun. Diharapkan tsunami bisa dikurangi hingga 0 persen. Namun, ternyata tsunami tetap terjadi.
"Pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan menjadi program nasional dan dilakukan secara besar-besaran di Jepang," kata Sutopo dalam keterangan yang diterima VIVAnews.com.
Sutopo menjelaskan, retrofiting bangunan tahan gempa untuk perumahan mencapai 79 persen, sekolah 73 persen, dan rumah sakit 56 persen dari jumlah nasional. "Bandingkan dengan di Indonesia yang sekitar 70 persen sekolah berada di daerah rawan gempa dan belum kuat strukturnya," ujarnya.
Sutopo menjelaskan, gladi gempa dan tsunami dilakukan secara rutin di setiap kabupaten/kota di Jepang. Bahkan, Pemda mengalokasikan anggaran rutin untuk pelaksanaan gladi tersebut.
Gladi dilakukan setiap 1 Oktober yang dilakukan secara nasional. Seluruh komponen masyarakat terlibat. Anak-anak sekolah dan pekerja pabrik diliburkan untuk gladi tersebut.
"Gladi dinilai sangat efektif. Misal di Distrik Taro, saat gempa dan tsunami tahun 1896 jumlah korban tewas 83 persen. Namun saat tsunami 1993 jumlah korban berkurang menjadi 20 persen dan tsunami 2011 hanya 6 persen dari total jumlah penduduk," jelasnya.
Bangunan umum dan bisnis yang berada di daerah risiko tinggi tsunami didesain tahan gempa dan dapat digunakan sebagai evakuasi vertikal. Dengan latihan masyarakat segera evakuasi ke tempat-tempat tinggi di gedung tersebut. Hidup harmoni dengan risiko bencana menjadi pilihan penduduk Jepang.
Pemulihan infrastruktur dilakukan secara cepat. Jalan tol di Tohoku Expressway selesai hanya 11 hari seteleh tsunami. Infrastruktur ini tidak hanya berkontribusi pada transportasi dalam pengiriman barang dan logistik saat darurat, tetapi juga memulihkan ekonomi Jepang.
Sutopo menjelaskan, saat bencana, media tidak ada yang menyiarkan hal-hal yang menyedihkan. Mayat dan hal-hal yang membuat masyarakat panik, misal terkait PLTN media tidak boleh menyiarkan secara saintifik sehingga masyarakat menjadi panik.
"Justru berita-berita tentang semangat, kebersamaan, disiplin dan ketangguhan masyarakat yang ditonjolkan mass media. Ini ada kode etik jurnalistik yang selalu dipegang oleh mass media Jepang," jelasnya.
"Kita layak untuk belajar dari Jepang hal itu. Terlebih lagi Indonesia adalah negara nomor satu di dunia yang memiliki ranking penduduk berisiko tinggi dari tsunami. Lebih dari 5 juta jiwa hidup dalam ancaman tsunami."
• VIVAnewsDampak yang ditimbulkan, 15.769 orang meninggal, 4.227 orang hilang, dan 470.000 orang mengungsi. Total kerugian ekonomi US$220 miliar atau setara 3,4 persen dari pendapatan Jepang. Atau hampir seperlima GDP Indonesia saat ini. Suatu kerugian yang luar biasa besar.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menilai Jepang sebagai negara yang paling siap menghadapi gempa dan tsunami. Berbagai upaya stuktural dan non struktural telah dilakukan dalam mitigasi bencana.
Menurut Sutopo, peradaban Jepang telah melakukan antisipasi tsunami sejak abad 9 Masehi. Bahkan, Pantai Sendai telah dilindungi berbagai bentuk perlindungan tsunami, mulai dari breakwater lepas pantai, tanggul, hutan pantai sampai sistem peringatan dini.
Selain itu, di Kota Kamaishi dibangun pemecah gelombang hingga kedalaman 19 meter selama 31 tahun. Diharapkan tsunami bisa dikurangi hingga 0 persen. Namun, ternyata tsunami tetap terjadi.
"Pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan menjadi program nasional dan dilakukan secara besar-besaran di Jepang," kata Sutopo dalam keterangan yang diterima VIVAnews.com.
Sutopo menjelaskan, retrofiting bangunan tahan gempa untuk perumahan mencapai 79 persen, sekolah 73 persen, dan rumah sakit 56 persen dari jumlah nasional. "Bandingkan dengan di Indonesia yang sekitar 70 persen sekolah berada di daerah rawan gempa dan belum kuat strukturnya," ujarnya.
Sutopo menjelaskan, gladi gempa dan tsunami dilakukan secara rutin di setiap kabupaten/kota di Jepang. Bahkan, Pemda mengalokasikan anggaran rutin untuk pelaksanaan gladi tersebut.
Gladi dilakukan setiap 1 Oktober yang dilakukan secara nasional. Seluruh komponen masyarakat terlibat. Anak-anak sekolah dan pekerja pabrik diliburkan untuk gladi tersebut.
"Gladi dinilai sangat efektif. Misal di Distrik Taro, saat gempa dan tsunami tahun 1896 jumlah korban tewas 83 persen. Namun saat tsunami 1993 jumlah korban berkurang menjadi 20 persen dan tsunami 2011 hanya 6 persen dari total jumlah penduduk," jelasnya.
Bangunan umum dan bisnis yang berada di daerah risiko tinggi tsunami didesain tahan gempa dan dapat digunakan sebagai evakuasi vertikal. Dengan latihan masyarakat segera evakuasi ke tempat-tempat tinggi di gedung tersebut. Hidup harmoni dengan risiko bencana menjadi pilihan penduduk Jepang.
Pemulihan infrastruktur dilakukan secara cepat. Jalan tol di Tohoku Expressway selesai hanya 11 hari seteleh tsunami. Infrastruktur ini tidak hanya berkontribusi pada transportasi dalam pengiriman barang dan logistik saat darurat, tetapi juga memulihkan ekonomi Jepang.
Sutopo menjelaskan, saat bencana, media tidak ada yang menyiarkan hal-hal yang menyedihkan. Mayat dan hal-hal yang membuat masyarakat panik, misal terkait PLTN media tidak boleh menyiarkan secara saintifik sehingga masyarakat menjadi panik.
"Justru berita-berita tentang semangat, kebersamaan, disiplin dan ketangguhan masyarakat yang ditonjolkan mass media. Ini ada kode etik jurnalistik yang selalu dipegang oleh mass media Jepang," jelasnya.
"Kita layak untuk belajar dari Jepang hal itu. Terlebih lagi Indonesia adalah negara nomor satu di dunia yang memiliki ranking penduduk berisiko tinggi dari tsunami. Lebih dari 5 juta jiwa hidup dalam ancaman tsunami."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar