JAKARTA, KOMPAS.com — Banyak pertambangan di wilayah Indonesia yang cacat secara hukum. Lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat setempat menjadi taruhannya. Untuk itu pemerintah pusat mesti mengkaji ulang semua perizinan pertambangan.
"Kita sedang mendorong revisi UU No 23/1997 tentang Lingkungan Hidup. Dalam revisi tersebut kami mendorong supaya pemerintah me-review semua perizinan pertambangan," kata Berry Nahdian Furqon, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), di kantornya Jakarta, Jumat (7/8).
Selain itu, menurut Berry, melalui revisi tersebut diharapkan pemerintah dapat melakukan pemulihan lingkungan hidup di kawasan pertambangan dengan cara menghentikan sumber perusakannya. "Yakni perusahaan yang bersangkutan. Setelah distop lalu merehabilitasi ekologi maupun rehabilitasi tatanan masyarakat. Kayaknya Komisi VII hendak menyelesaikannya pada periode ini," ungkap Berry.
Isu lingkungan ini sangat mendesak karena hampir seluruh operasi pertambangan di Indonesia izinnya bermasalah. Berry mencontohkan seluruh pertambangan khususnya batu bara di Kalimantan yang menurutnya bermasalah. Di Kalimantan Selatan ada 9 kabupaten yang kuasa pertambangannya bermasalah. "Mereka menambang tanpa Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), Amdal belum selesai sudah menambang, menambang di kawasan hutan lindung, di wilayah konservasi, dan menambang tanpa izin. Ada juga yang dapat izin di wilayah A menambang juga di wilayah B," papar Berry.
Hal serupa juga terjadi di Sumatera, seperti Riau, Bengkulu, dan Babel. "Mereka terus saja menambang karena kepentingan ekonomi di atas segala-galanya. Bercampur juga dengan praktik korupsi," tutur Berry.
Proses penambangan yang tidak memerhatikan Amdal dan keadaan sosilogis-antropologis berakibat buruk bagi lingkungan dan masyarakat. Lingkungan jadi rusak karena wilayah yang dilarang ditambang seperti daerah karst, hutan lindung, dan konservasi tetap ditambang. "Juga berakibat luluh lantaknya budaya setempat. Misalnya, wilayah pertambangan berdiri prostitusi, dari masyarkat petani beralih ke masyarakat ke buruh, penduduk berpindah tempat ke tempat lain karena sumber kehidupan mereka dicerabut," paparnya.
Berry berpendapat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Jawa Tengah yang meluluskan gugutan Walhi bisa dijadikan momentum bagi pencinta lingkungan di Indonesia. "Ini bisa menjadi preseden hukum yang baik bagi banyak kasus serupa di Tanah Air," tandasnya.
Walhi yang mewakili Jaringan Nasional Advokasi Tolak Semen Gresik menggugat izin operasi pertambangan PT Semen Gresik di Kabupaten Pati. Gugatan itu dinyatakan diterima seluruhnya oleh PTUN Semarang pada 6 Agustus 2009.
Obyek sengketanya adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang berwujud Surat Keputusan tentang Izin Penambangan Daerah (SIPD) No 540/052/2008 yang dikeluarkan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Pati kepada PT Semen Gresik tertanggal 5 November 2008.
Isi pokoknya adalah mengenai izin melakukan penambangan batu kapur seluas 700 hektar, yang terletak di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Sukolilo, Desa Tompegunung, dan Desa Sumbersoko yang berada di wilayah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati Jateng. Implikasi putusan PTUN ini adalah SIPD PT Semen Gresik dinyatakan cacat hukum dan proses penambangan dibatalkan.
ONE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar