Oleh Yulvianus Harjono
KOMPAS.com - Dalam 100 tahun terakhir, temperatur global di planet Bumi meningkat 0,6 derajat celsius. Yang mencengangkan, kondisi senada—pemanasan—ternyata juga terjadi di planet-planet lain dalam sistem Tata Surya dalam waktu yang hampir bersamaan.
Temuan ini merupakan hasil pengamatan yang dilakukan para ilmuwan: astronom dan astrofisikawan, selama dua dasawarsa terakhir pada planet-planet tetangga Bumi yang ada di orbit Matahari, sumber energi utama kehidupan di Bumi.
Neptunus, planet intersolar terjauh dengan jarak rata-rata 4.450 juta kilometer dari Matahari, adalah salah satu yang mengalami fenomena turbulensi iklim ini. Dari hasil fotometri rutin oleh Observatorium Lowell di Amerika Serikat, sejak 1980 hingga sekarang Neptunus makin terlihat cemerlang.
Dari hasil pemantauan inframerah, seperti diungkapkan HB Hammel dan GW Lockwood, permukaan planet berwarna biru ini terus memanas dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir. Fotometri menunjukkan kenaikan signifikan. Dari sebelumnya 7,97 magnitude (mag) pada 1950 menjadi 7,81 mag di 2004. Semakin rendah angka magnitude, semakin cemerlang planet yang diamati.
Gejala sama terjadi di Triton, satelit alamiah terbesar yang mengelilingi Neptunus. Terhitung sejak 1989, suhu di permukaan Triton memanas signifikan hingga 5 persen dari skala temperatur absolut planet ini—setara kenaikan 22 derajat Fahrenheit.
Berdasarkan pemantauan wahana Voyager pada 1989, Triton memiliki suhu dingin ekstrem, yaitu rata-rata minus 392-389 derajat Fahrenheit (minus 200-198 derajat celsius). Namun, tren pemanasan ini mengakibatkan sebagian permukaan Triton yang terdiri dari nitrogen beku berubah menjadi gas. Ini membuat atmosfernya yang terkenal tipis menjadi kian tebal.
Seperti dikutip dari jurnal Nature, James L Elliot, astronom dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengungkapkan, perubahan iklim di salah satu bulan Neptunus ini terjadi sekali dalam beberapa ratus tahun akibat perubahan absorpsi energi solar di kutub-kutub es Triton.
Badai raksasa di Yupiter
Tren perubahan iklim juga terjadi di Yupiter, planet terbesar tata surya. Science Daily, Mei 2008, melaporkan, dalam dua tahun terakhir sebelum laporan dirilis, terjadi peningkatan aktivitas badai raksasa di atmosfer Yupiter. Teleskop Hubble menangkap citra yang menunjukkan terbentuknya titik merah (red spot) baru di planet ini.
Badai besar berukuran hingga 0,5 miliar mil ini kemudian disebut ilmuwan sebagai ”Red Spot Jr”. Badai yang tergolong langka ini terbentuk dari hasil penggabungan tiga badai oval berwarna putih pada kurun waktu 1998-2000. Hal serupa pernah terjadi seabad lalu, yaitu ketika terbentuk ”Great Red Spot” berukuran dua kali Bumi.
Menurut Phillip S Marcus, profesor dinamika fluida dari University of California, Berkeley, Yupiter mengalami perubahan iklim, yaitu suhu permukaan meningkat sebesar 10 derajat celsius. Kawasan ekuator menghangat, sementara wilayah di dekat kutub selatan semakin dingin. ”Aktivitas awan di sana dalam dua setengah tahun terakhir menunjukkan hal yang dramatis, sesuatu yang tidak lazim telah terjadi,” ujar Phillip.
Saat belum ada penjelasan yang utuh dan menyeluruh soal benang merah terjadinya perubahan iklim di planet-planet intersolar ini, astronom juga mengungkapkan, planet kerdil (Pluto) mengalami tren perubahan iklim senada. Apalagi, Pluto yang dicoret statusnya sebagai planet terletak sangat jauh dari Matahari, yaitu 6 miliar kilometer atau sekitar 40,5 satuan astronomi atau sekitar 40 kali jarak Matahari-Bumi. Tekanan atmosfer Pluto diketahui meningkat tiga kali lipat sejak akhir 1980-an. Diperkirakan, suhu permukaan ikut meningkat rata-rata 2 derajat celsius.
Padahal, tidak ada aktivitas manusia yang menimbulkan efek rumah kaca di sana. Lantas, apa penyebab perubahan temperatur di sejumlah planet dan obyek tata surya ini dalam waktu yang hampir bersamaan?
Matahari disalahkan
Mencoba memberikan benang merah, Habibullo Abdussamatov, Kepala Bidang Penelitian Luar Angkasa di Observatorium Astronomi St Petersburg, Rusia, mengklaim, aktivitas Matahari-lah yang memengaruhi perubahan temperatur di Bumi dan sejumlah planet.
”Efek rumah kaca yang ditimbulkan manusia berkontribusi pada pemanasan di Bumi dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi, itu tidak bisa menyamai dampak akibat meningkatnya iradiasi Matahari,” tuturnya.
Abdussamatov merujuk kepada pengalaman di Mars untuk memperkuat dalilnya yang kontroversial ini. Puluhan tahun terakhir ini permukaan Mars diketahui memanas dengan sangat cepat, yaitu empat kali dari laju pemanasan global di Bumi.
Mars, seperti halnya Bumi, diketahui pernah mengalami zaman es. Namun, lapisan es yang menyimpan karbon dioksida (CO) dalam jumlah besar di wilayah dekat kutub selatan Mars telah mencair sangat cepat. Dari 1970 hingga 1990 tercatat, temperatur udara di Mars meningkat 0,65 derajat celsius.
Hammel dan Lockwood juga ikut memperkuat koneksi faktor iradiasi Matahari dengan gejala perubahan iklim di Neptunus. Menurut mereka, koefisien relevansi antara tingkat iradiasi Matahari dan angka kecemerlangan Neptunus mencapai 0,90 atau nyaris sempurna.
Korelasi ini ikut dihubungkan dengan gejala anomali perubahan temperatur di Bumi. Data yang mereka peroleh menunjukkan, variasi perubahan iradiasi Matahari ternyata berbanding lurus pula dengan tren kenaikan suhu di Bumi.
Perubahan energi yang dipancarkan Matahari termasuk beragam variasinya, baik ultraviolet, kosmik, dan inframerah, sangat berkorelasi dengan perubahan temperatur di tiap planet, termasuk Bumi.
Dampak di tiap planet ditentukan faktor lokal, yaitu variasi kemiringan orbit, albedo (kemampuan merefleksikan kembali radiasi sinar ke atmosfer), dan aktivitas geologis seperti erupsi gunung berapi. Aktivitas manusia, yaitu efek rumah kaca, termasuk faktor lokal ini.
Meskipun demikian, mayoritas peneliti menolak anggapan sesuai uraian di atas.
Michaell Mann, meteorolog dari Penn State, Amerika Serikat, menuturkan, perubahan aktivitas Matahari dan segala variasinya hanya memengaruhi 0,1-1 persen iklim di Bumi. Tak cukup kuat untuk memicu perubahan iklim dramatis di Bumi.
Apalagi, tingkat keaktifan Matahari memiliki periode tiap 11 tahun dan saat ini masih dalam fase nonaktif. Sangat jarang terlihat bintik Matahari, salah satu indikator turunnya keaktifan Matahari, akhir-akhir ini.
”Mereka yang tidak bisa menerima eksistensi faktor antropologis (aktivitas manusia) terhadap perubahan iklim, terus mencoba mengarahkannya ke aktivitas Matahari,” ucap Penn.
Sumber : KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar