Krisis kemanusiaan kian parah di Port-au-Prince, ibukota Haiti pascagempa dahsyat. Akibatnya ribuan warga Port-au-Prince berbondong-bondong meninggalkan ibukota yang luluh-lantak diterjang gempa.
Warga ingin kabur dari kelaparan dan kekerasan yang merajalela di ibukota. Mereka berharap bantuan pangan akan lebih mudah didapat di kota-kota kecil.
Namun bukan hal mudah untuk pergi meninggalkan ibukota. Dikarenakan bahan bakar sulit diperoleh, para sopir bus pun menaikkan harga ongkos bus. Ini tentu berat bagi sebagian besar warga Haiti yang hidup dalam kemiskinan.
"Ribuan dan ribuan orang pergi, saya tak pernah melihat eksodus seperti ini, bahkan di saat Natal," kata sopir bus, Garette Saint-Julien seperti dilansir International Herald Tribune, Selasa (19/1/2010).
Kebanyakan mereka yang meninggalkan Port-au-Prince mengatakan akan pergi ke peternakan-peternakan kecil milik kerabat mereka. Sebab di ibukota Haiti itu, mereka mulai kelaparan karena bantuan asing belum juga menjangkau semua korban gempa yang selamat.
"Kami tak lagi punya makanan dan rumah, jadi satu-satunya hal yang dilakukan adalah pergi dari sini," ujar Livena Livel, seorang pedagang kaki lima yang akan pergi ke rumah ayahnya di Kota Les Cayes, sekitar empat jam dari Port-au-Prince.
Aksi penjarahan dan kekerasan kian marak di Port-au-Prince sejak gempa dahsyat yang mengguncang Haiti pada 12 Januari lalu. Gempa berkekuatan 7 Skala Richter itu merupakan gempa terdahsyat di negara miskin Karibia itu dalam waktu 200 tahun.
http://id.news.yahoo.com/dtik/20100119/twl-kekerasan-merajalela-ribuan-warga-ha-3d89a92.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar