Rabu, 16 Februari 2011

Bank Dunia: Harga Pangan di Level Berbahaya

Bank Dunia: Harga Pangan di Level Berbahaya
Selama Oktober 2010 hingga Januari 211, harga pangan di tingkat global naik 15 persen
RABU, 16 FEBRUARI 2011, 08:34 WIB
Renne R.A Kawilarang
Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick (kanan) (AP Photo/Matt Dunham. Pool)

VIVAnews - Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga pangan di mancanegara kini berada dalam "level yang berbahaya." Tingginya harga pangan ini mengancam kehidupan sekitar 44 juta orang miskin di penjuru dunia sejak Juni 2010.

Laporan Bank Dunia itu dimuat dalam jurnal edisi terbaru, Food Price Watch, yang dikutip stasiun berita BBC, Selasa 15 Februari 2011. Menurut jurnal itu, selama Oktober 2010 hingga Januari 211, harga pangan di tingkat global naik 15 persen.

Inflasi harga kebutuhan pokok itu terasa berat bagi kaum miskin. Mereka selama ini harus menyisihkan lebih dari setengah pendapatan untuk membeli makanan.

Maka, Bank Dunia menyerukan agar para pejabat keuangan negara-negara kelompok 20 (G20) perlu membahas masalah harga pangan saat mereka bertemu pekan ini di Prancis. Kelompok G20 terdiri dari sejumlah negara maju dan negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Harga pangan dunia tengah naik menuju tingkat yang berbahaya dan mengancam puluhan juta kaum miskin di penjuru dunia," kata Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick. Dia juga menilai bahwa tingginya harga pangan turut membuat ketidakstabilan di Timur Tengah, walau itu bukan menjadi penyebab utama krisis yang terjadi di sejumlah negara di kawasan itu.

Pesatnya inflasi harga pangan pada 2008 telah memicu sejumlah kerusuhan di beberapa negara. Saat itu, Bank Dunia sudah memperkirakan bahwa 125 juta orang berada dalam kemiskinan ekstrem.

Sebelum Bank Dunia, PBB sudah melontarkan peringatan serupa. Menurut riset FAO, seperti dikutip harian The Wall Street Journal, indeks harga pangan dunia Januari lalu naik 3,4 persen menjadi 231 poin.

Itu merupakan angka tertinggi sejak 1990, atau saat FAO mulai memantau harga pangan dunia. Naiknya indeks itu terjadi akibat melonjaknya harga sejumlah komoditas, seperti sereal (padi-padian), gula, dan minyak sayur. (hs)

• VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar