BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Tingginya pembangunan jalan negara di kawasan taman nasional atau kawasan konservasi merupakan penyebab cepat rusaknya kawasan hutan dan tidak berkembangnya habitat satwa liar. Untuk bisa mempertemukan kepentingan ekonomi dari pembukaan jalan dan konservasi hutan dibutuhkan payung hukum yang mampu mengakomodir dua kepentingan tersebut.
Darori, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan pada acara workshop bertema pengelolaan jalan negara dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Selasa (13/10) mengatakan, sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pembukaan jalan di dalam taman nasional atau hutan konservasi memang tidak diperbolehkan. Akan tetapi, untuk kepentingan pembangunan daerah dan akses perekonomian pembangunan jalan di kawasan hutan konservasi dilakukan.
Di seluruh Indonesia, permintaan untuk pembangunan jalan negara di kawasan hutan konservasi cukup tinggi. Tercatat permintaan pembukaan lahan untuk pembangunan lahan terjadi di Nanggroe Aceh Darrusalam (NAD), Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua.
Darori mengatakan, dari sisi konservasi pembukaan lahan kawasan untuk jalan sering akhirnya menjadi penyebab cepat rusaknya hutan atau tidak berkembangnya satwa liar. Hal itu karena pembukaan jalan baru dalam kawasan konservasi merupakan salah satu penyebab rusaknya habitat disamping perambahan yang mengancam kelestarian satwa. Sementara di satu sisi, kebutuhan pembukaan lahan untuk pembangunan jalan untuk pengembangan daerah juga perlu.
Dalam workshop tersebut terungkap, pembangunan jalan dalam kawasan konservasi terus menguat dengan alasan daya tempuh lebih pendek, pengentasan kemiskinan, menghubungkan wilayah, dan alasan lainnya. Banyak kabupaten menjadikan pembangunan prasarana jalan sebagai solusi dalam peningkatan perekonomian kabupaten atau provinsi.
Berdasarkan data TNBBS tahun 2007, jumlah ruas jalan yang memotong kawasan TNBBS mencapai sembilan ruas. Tiga ruas berstatus jalan negara dan enam berstatus jalan provinsi dan kabupaten. Padahal, kawasan yang terpotong-potong tersebut merupakan daerah jelajah badak, harimau, ataupun gajah sumatera.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kurnia Rauf mengatakan, di TNBBS sendiri saat ini terdapat tiga jalan negara eksisting. Ketiga ruas tersebut adalah ruas Sanggi Bengkunat sepanjang 11,5 kilometer, Pugung Tampak Way Manula sepanjang 14 kilometer, dan ruas LiwaKrui sepanjang 10 kilometer.
Saat ini juga terdapat permohonan baru untuk pembukaan ruas jalan baru di kawasan TNBBS, Lampung. Yaitu ruas SukabumiBanding melewati Suoh sepanjang 15 kilometer dan ruas Sumber RejoWay Haru di Bengkunat sepanjang 10 kilometer.
"Kedua permohonan pembangunan jalan baru tersebut diajukan karena keduanya menghubungkan enclave atau kantong permukiman dengan akses ekonomi," ujar Kurnia.
Kurnia mengatakan, pihak TNBBS masih mengkaji permohonan tersebut. Demi kepentingan konservasi, pengelola TNBBS akan meminta komitmen Departemen Pekerjaan Umum dalam melakukan pembangunan jalan supaya bisa mengakomodasi kepentingan ekonomi dan konservasi.
Lebih lanjut Darori mengatakan, workshop tersebut dilakukan untuk menghasilkan masukan-masukan yang mengakomodir kepentingan ekonomi dan konservasi. "Melalui workshop ini, kami berharap bisa dihasilkan masukan-masukan penting yang bisa dimuat dalam Peraturan Pemerintah atau Undang Undang yang mengakomodir kepentingan ekonomi dan konservasi," ujar Darori.
HLN
Editor: Edj
Tidak ada komentar:
Posting Komentar