Gempa Megathrust Chili Pelajaran Bagi (Masa Depan) Indonesia
Ma'rufin Sudibyo - suaraPembaca
Inilah jenis gempa langka yang hanya bisa terjadi di batas pertemuan antar lempeng tektonik dalam zona subduksi yang ditandai dengan besaran zona rekahan Bumi (rupture zone) yang luar biasa besar dimensinya dengan pergeseran (slip) yang amat sangat signifikan. Gempa ini memproduksi berbagai dampak ikutan yang tak kalah mencengangkan.
Secara rata-rata gempa megathrust terjadi tiap setengah abad sekali di Bumi. Namun, gempa megathrust Maule ini hanya berselang lima tahun pasca gempa megathrust Simeulue - Nias (magnitude 8,7 skala magnitudo) yang mengguncang Pulau Nias dan sekitarnya (Indonesia) pada 28 Maret 2005 dan menelan korban kurang lebih 1.000 jiwa. Gempa megathrust Maule ini adalah yang terbesar sejak kejadian gempa megathrust Sumatera - Andaman 26 Desember 2004 (magnitude 9,2 skala magnitudo) yang memporak-porandakan ujung utara Pulau Sumatera beserta Kepulauan Andaman dan Nicobar.
Gempa megathrust Maule diproduksi oleh zona rekahan raksasa dengan luasan 400 x 100 km persegi. Atau hampir separuh Pulau Jawa. Rekahan diinisiasi di selatan dan dengan cepat kemudian menjalar ke utara (strike 11 derajat) dengan kecepatan ~ 2 km/detik.
Seluruh zona rekahan mengalami pergeseran anjak miring (oblique thrust) sebesar 16,6 m (rata-rata). Akibatnya gempa megathrust ini melepaskan energi teramat besar yakni 238 megaton TNT atau setara dengan 11.900 kali lipat energi ledakan bom nuklir Hiroshima.
Dengan koefisien atenuasi empirik 0,00392 +/- 0,00188 maka getaran akibat gempa megathrust ini terasakan hingga radius 643 km dari zona sumber gempanya setidaknya menurut model atenuasi intensitas Gutenberg-Richter. USGS PAGER menggunakan data Landscan 2005 yang mengestimasikan 5,48 juta jiwa tinggal di daerah yang terguncang dahsyat (intensitas 8 MMI) dan 7,285 juta jiwa lainnya tinggal di daerah terguncang parah (intensitas 7 MMI).
Potensi jatuhnya koban jiwa sangat besar karena pada intensitas guncangan 7 dan 8 MMI bangunan akan runtuh. Baik oleh getaran itu sendiri maupun akibat melemahnya struktur tanah oleh pelelehan setempat (likuifaksi). Biasanya disusul kebakaran akibat putusnya jalur pipa gas serta rontoknya tebing-tebing curam sebagai longsoran yang bisa menimbun pemukiman dan pusat aktivitas manusia di bawahnya.
Dengan sudut dip 25 derajat gempa ini menyebabkan pengangkatan vertikal (uplift) zona rekahan hingga 7 m dari level semula. Sebagian luasan zona rekahan ini berada di daratan sehingga hanya sebagian saja yang mengganggu kolom air Samudera Pasifik dan berkembang menjadi tsunami.
Begitu pun tsunami tersebut mengangkut energi 400 kiloton TNT. Atau setara dengan 20 kali lipat bom Hiroshima. Besaran energi ini memang hanya 1/35 energi tsunami dahsyat produk gempa megathrust Sumatera - Andaman 2004. Namun, begitu pun sudah sanggup menciptakan gelombang setinggi 2,3 m dan 1,3 m masing-masing pada jarak 120 km dan 670 km dari zona rekahan.
Tsunami dihantarkan ke seluruh penjuru Samudera Pasifik sehingga di pesisir timur Jepang misalnya, terdeteksi tsunami setinggi 10 cm. Sementara di Hawaii diterjang gelombang setinggi 1 m. Mujur kontur dasar Samudra Pasifik di lepas pantai Chili tergolong landai sehingga gempa megathrust Maule tidak diikuti longsoran gigantis dasar laut yang sanggup meningkatkan ketinggian tsunami.
Chili adalah negara yang memiliki kerentanan setara dengan Indonesia terhadap gempa meski tatanan tektonik di negara yang dipresideni Michele Bachelet ini jauh lebih sederhana. Sumber gempa potensial di Chili ada di sepanjang lepas pantai Samudera Pasifik sebagai hasil interaksi lempeng Nazca yang mendesak lempeng Amerika Selatan ke arah timur dengan laju 8 m/abad.
Sebagai konsekuensinya dan juga oleh umur subduksinya yang tergolong muda Chili senantiasa didera oleh gempa-gempa kuat dan megathrust. Posisi jalur palung laut hasil subduksi lempeng Nazca terhadap lempeng Amerika Selatan hanya berjarak ~100 km dari garis pantai Chili. Bandingkan dengan Sumatera yang berjarak ~300 km dan Jawa yang berjarak ~250 km. Sehingga, konsekuensinya gempa di zona subduksi Chili berimplikasi langsung ke daratan.
Analisis paleoseismologis mengindikasikan adanya tiga segmen potensial sumber gempa megathrust dengan siklus perulangan kejadian sebesar +/- 200 tahun untuk tiap segmen. Gempa megathrust Maule ini misalnya merupakan perulangan dari kejadian gempa Concepcion 1835 dan Santiago 1647 (masing-masing 8,5 skala magnitudo) pada segmen yang sama.
Gempa terbesar dalam sejarah seismologi modern terjadi di Chili yakni gempa megathrust Valdivia pada 22 Mei 1960 pukul 19:11 GMT dengan magnitude 9,5 skala magnitudo yang diproduksi oleh zona rekahan seluas 800 x 200 km persegi. Tsunaminya demikian dahsyat sampai-sampai membentuk gelombang koheren. Gelombang yang tidak mengalami susut energi signifikan meski sudah menjalar cukup jauh darisumbernya.
Pada 10 ribu km dari sumbernya tsunami tersebut masih setinggi 11 m. Akibatnya meski gempanya terjadi di Chili korban jiwa pun bertumbangan di Hawai, Jepang, dan Filipina. Besarnya getaran gempa sampai menghasilkan longsoran massif yang membendung aliran keluar Danau Rinihue sehingga genangan danau menjadi meluas dibanding sebelumnya. Total korban jiwa akibat gempa ini mencapai ~6.000 jiwa dengan total kerugian US $ 5,8 milyar (menurut nilai 2010).
Pasca megathrust Valdivia gempa besar lainnya menyusul seperti gempa besar Santiago 1985 (8,0 skala magnitudo) dan gempa besar Antafagosta 1995 (8,0 skala magnitudo) yang membuat Chili menjadi salah satu negara dengan kesiapsiagaan tinggi mengantisipasi bencana gempa bumi dan dampak ikutannya.
Berbagai latihan telah diselenggarakan dengan kontinu. Sehingga, meski gempa megathrust Maule 500 kali lebih energetik ketimbang gempa Haiti (7,0 skala magnitudo) Januari lalu jumlah korban jiwanya jauh lebih tinggi di Haiti (+/- 300 ribu jiwa) yang terutama disebabkan oleh ketidaksiapan Haiti menghadapi dinamika Bumi khususnya pada mikrolempeng Gonave dan sistem-sistem tektonik pembatasnya seperti zona patahan Enriquillo-Plantain Garden.
Meski harus diakui sebagai negara berkembang Chili pun punya keterbatasan sendiri dalam mitigasi bencananya. Kekacauan yang kita lihat pada hari-hari pasca gempa megathrust Maule seperti penjarahan yang berujung pada pengerahan pasukan.
Pernyataan negara dalam keadaan darurat oleh Michele Blachelet adalah satu implikasi dari keterbatasan sumber daya dan infrastruktur pendukung keadaan tanggap darurat yang seharusnya siaga penuh mengantisipasi kondisi kepanikan massal. Ini bisa 'dimaklumi' mengingat dalam kondisi panik tidak semuay ang direncanakan berlangsung normal sesuai rencana. Amerika Serikat dengan sumber daya dan kemampuan yang lebih tinggi ketimbang Chili pun tergagap-gagap ketika harus menghadapi malapetaka Katrina yang menghantam New Orleans dan sekitarnya.
Pada titik inilah Indonesia semestinya belajar banyak dari gempa megathrust Maule dan kegempaan lainnya di Chili. Musababnya Indonesia juga memiliki sumber gempa potensial yang bakal meletupkan gempa megathrust mendatang dan bisa diestimasikan bahwa dampaknya akan serupa.
Sumber gempa megathrust yang sudah teridentifikasi sedang menimbun energi dan sudah sampai di ujung siklus seismiknya (alias tinggal menunggu waktu saja untuk meletup) adalah segmen Mentawai, dengan luasan 600 x 150 km persegi, di lepas pantai Sumatra Barat. Gempa megathrust terakhir di sini terjadi pada 1833 dengan magnitude 9,0 skala magnitudo atau menyamai gempa megathrust Sumatera - Andaman 2004.
Kajian intensif yang dilakukan Dr Danny Hilman Natawidjaja dan rekan-rekannya menyimpulkan periode ulang kegempaan di segmen ini ~200 tahun. Sehingga, potensi terjadinya gempa megathrust berikutnya terbuka lebar di antara 2010 hingga 2030 mendatang. Beberapa sumber potensial gempa megathrust ditengarai juga ada di lepas Pantai Selatan Jawa dan kawasan Indonesia Timur. Meski konklusi ini belum pasti karena penyelidikan masih berlangsung.
Dengan segmen Mentawai sebagai calon 'monster' gempa megathrust berikutnya di Indonesia maka Sumatera bagian Barat menjadi salah satu lokasi dengan tingkat kesiapsiagaan dan antisipasi bencana yang tergolong paling tinggi untuk ukuran Indonesia. Begitu pun, ketika satu 'ujian pendahuluan' datang dalam bentuk gempa kuat Pariaman 30 September 2009 lalu (magnitude 7,0 skala magnitudo) kesiapsiagaan itu sedikit berantakan. Sama seperti kasus Chili.
Putusnya komunikasi, putusnya aliran listrik, putusnya suplai air bersih, putusnya jalur transportasi darat hingga sejumlah daerah terisolir, rubuhnya gedung-gedung bertingkat yang menjebak penghuninya dalam tumpukan beton hingga putusnya pipa gas adalah beberapa contohnya. Hal ini seakan berulang-ulang dalam kejadian demi kejadian gempa sehingga seakan
menjadi 'klasik'.
Sudah saatnya untuk merancang sebuah sistem yang bertujuan mengatasi hal-hal 'klasik' tersebut. Negara ini punya korps TNI dan sedang merintis pembentukan Tagana (Taruna Siaga Bencana). Mungkin akan lebih elok jika TNI dan Tagana (serta elemen stakeholder lain) ditempatkan dalam satu protokol khusus yang bisa digerakkan dengan cepat oleh administrasi pemerintahan dalam sebuah operasi militer non-perang begitu status suatu bencana gempa dipastikan setelah melakukan evaluasi cepat lewat data yang telah tersedia meski tak lengkap.
Pada titik ini mungkin kita harus mencontoh Adolf Hitler --terlepas dari kekejiannya di masa antar bellum dan Perang Dunia 2, yang dengan detil merancang Operation of Valkyrie sebagai upaya mengatasi kekacauan sipil dan mengendalikan basis-basis strategis pemerintahan andaikata rezimnya jatuh atau dirinya tewas.
Pada titik ini pula kita harus belajar dari kegagalan Laksamana Gaius Plinius Secundus (Pliny Senior) yang kelabakan ketika Gunung Vesuvius meletus dahsyat pada Agustus 79 M sehingga secara serampangan memerintahkan seluruh Armada Kapal Perang Wilayah Barat Kekaisaran Romawi untuk turun ke lautan mendekati Vesuvius dengan akibat seluruh kapal perangnya terhempas berantakan di pantai Stabiae dengan korban tak terperi.
Harus dirancang satu sistem komunikasi wireless untuk tanggap darurat. Baik berbasis satelit maupun misalnya berbasis BTS yang ditempatkan di balon udara yang ditambatkan. Putusnya jalur transportasi darat bisa diatasi dengan memaksimalkan jalur transportasi udara seperti helikopter atau pun pesawat angkut yang berkemampuan terbang rendah dalam membongkar muatannya (LAPES: Low Altitude Parachute Extraction Systems) yang pada gilirannya selain membawa bantuan bahan makanan dan sandang juga bisa memasok sumber-sumber energi listrik darurat. Transportasi udara juga signifikan ketika harus menghadapi kobaran api massal akibat putusnya pipa gas.
Gergaji khusus pemotong beton dilengkapi dengan life detector maupun anjing pelacak harus pula disiapkan untuk operasi penyelamatan korban yang tertimbun beton. Sebab, pengalaman di Haiti menunjukkan korban-korban tertentu bisa bertahan hidup meski terperangkap beton bahkan hingga 2 minggu pasca bencana. dengan kemampuan PT Dirgantara Indonesia rasanya tak sulit untuk mewujudkan kesiapsiagaan bencana dengan bertumpu pada helikopter dan pesawat yang dirancang serba guna. Seperti varian CN-235.
Namun, lebih dari itu, yang paling urgen adalah pola pikir pemegang administrasi pemerintahan, yang musti digeser dari sekedar karitatif sembari menyalahkan sana-sini (termasuk menyalahkan alam) dan sedikit-sedikit berkorupsi (dana bantuan) menjadi preventif. Di titik ini peran penting seorang staf khusus kepresidenan bidang bencana alam. Sehingga, amat sangat tak elok dan bahkan malah mengkhianati amanah yang dijabatnya, ketika ia justru sibuk melobi dan kasak-kusuk ke sana ke mari dalam persoalan skandal Bank Century yang sama sekali bukan menjadi bidang garapannya.
Ma'rufin Sudibyo
Jl Nanas C-4 Jadimulya Gunungjati Cirebon
marufins@yahoo.com
0817727823
(msh/msh)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus