Firdaus Ali: Penurunan Muka Tanah Tak Terkendali, Jakarta Bisa Tenggelam
Jakarta - Permukaan tanah di DKI Jakarta kian turun setiap tahunnya, diakibatkan tingginya laju ekstraksi air tanah dalam yang sudah melewati batas. Kalau ini tidak diatasi secara serius, maka dalam tempo 40 tahun ke depan, Jakarta diprediksi akan benar-benar tenggelam.
"Jika tidak segera ditangani, kota ini akan tenggelam secara perlahan dan pasti. Ketika laju penurunan muka tanah kita terus tidak terkendali, dalam saat bersamaan permukaan air laut juga naik secara signifikan sebagai dampak dari pemanasan global," kata Direktur Eksekutif Indonesia Water Institute, Firdaus Ali.
Sebenarnya menurut Firdaus, kondisi penurunan tanah akibat penggunaan air tanah yang kelewat batas ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Tapi di sejumlah kota di beberapa negara juga terjadi.
"Saya punya referensi yang kuat dengan apa yang terjadi di Mexico City hampir 80 tahun lalu dan di Bangkok City 30 tahun lalu. Kota-kota besar di Jepang seperti Tokyo, Yokohama, dan Osaka punya pengalaman yang sama," ungkapnya.
Berikut wawancara lengkap detikcom dengan Firdaus Ali, yang juga pengamat dari Universitas Indonesia, Minggu (6/11/2011):
Betulkah permukaan tanah di Jakarta setiap tahun turun? Dan bagaimana prediksi Dari IWI?
Saya yakin tidak ada yang sanggup membantah fakta yang dan sedang bahkan mungkin sepertinya masih akan berlansung dalam beberapa dekade (jika tidak juga ada upaya segera untuk menghentikan laju turunnya muka air tanah dan muka tanah di wilayah ibukota NKRI ini. Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dengan segenap anggotanya yang dalam hal ini merupakan pakar dalam masalah geologi wilayah DKI Jakarta justru selalu berdiskusi dengan saya dalam rangka mencari upaya terobosan dari aspek teknik dan non-teknik untuk mencegah tenggelamnya ibukota ini.
Kita sempat sedikit berbeda pandang dalam menilai faktor penyebab turunnya muka tanah di Jakarta. Prof Lambok Hutasoit dan kawan-kawan Geoogi ITB mengatakan bahwa setidaknya ada 4 penyebab tingginya laju penurunan muka tanah di Jakarta dan sekitarnya Pertama adalah karena sifat atau karakteristik geologi tanah di wilayah ibukota yang merupakan lapisan akumulasi endapan (quarter) sedimen yang belum stabil (terus mengalami proses konsolidasi) pada kawasan pantai yang berlansung ribuan tahun lalu yang akhirnya membentuk wilayah delta (makanya Jakarta juga digolongkan sebagai kota delta/delta city).
Karena adanya beban statis (bangunan) dan dinamis (beban bergerak seperti kendaraan bermotor) yang mempercepat terjadinya proses pemadatan lapisan tanah. Ketiga adalah karena adanya gaya teknonis yang menyebabkan getaran dan pergerakan lapisan kulit bumi/tanah yang juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah. Keempat adalah akibat sangat tingginya laju ekstraksi air tanah (khususnya air tanah dalam) yang sudah melewati daya dukungnya (melebihi kemampuan pengisian kembali).
Alasan yang ke 4 yang saya pegang dan yakini sepenuhnya sebagai faktor penyebab tingginya laju penurunan muka tanah di ibukota. Saya punya referensi yang kuat dengan apa yang terjadi di Mexico City hampir 80 tahun lalu dan di Bangkok City 30 tahun lalu. Kota-kota besar di Jepang seperti Tokyo, Yokohama, dan Osaka punya pengalaman yang sama.
Titik daerah mana saja di Jakarta yang paling rawan bahaya amblas tanah di Jakarta? Daerah mana yang paling rawan dari semua itu? Berapa persen, inci, centimeter penurunnya tiap tahun?
Berdasarkan faktor penyebab yang sudah saya jelaskan di atas, pada dasarnya hampir seluruh wilayah Jakarta rawan terhadap turun muka tanah yang dapat memicu terjadinya pelemahan pada sistem struktur tanah dan akan berdampak pada daya dukung tanah itu sendiri terhadap bangunan yang ada diatasnya. Amblesan merupakan bentuk hilangnya daya dukung tanah terhadap bangunan yang ada diatasnya.
Pantai utara Jakarta, baik Jakarta Utara, Jakarta Timur bagian utara, Jakarta Barat bagian Utara dan Jakarta Pusat bagian utara merupakan kawasan yang selama ini sudah menunjukan kondisi kritis terkait dengan turunnya muka tanah. Beberapa kawasan yang laju penurunan muka tananya sudah sangat mengkuatirkan di antaranya adalah Muara Baru, Kelapa Gading, Marunda, Kemayoran, Pasar Ikan, Pluit, Ancol, Gunung Sahari, Mangga Dua, Pantai Mutiara, Meruya, Sudirman-Thamrin, Klender, dan masih banyak kawasan lain yang masih menunjukkan tren penurunan muka tanah yang tinggi.
Kalau ini tidak tertangani bagaimana? Apa yang harus dilakukan pemerintah khususnya Pemprov DKI Jakarta, masyarakat atau pengusaha dan pemerhati masalah ini?
Jika tidak segera ditangani, kota ini akan tenggelam secara perlahan dan pasti. Ketika laju penurunan muka tanah kita terus tidak terkendali, dalam saat bersamaan permukaan air laut juga naik secara signifikan sebagai dampak dari pemanasan global.
Pengendalian banjir di Ibu Kota tidak akan pernah berhasil, karena begitu titik genangan yang ada kita hilangkan, dalam saat bersamaan titik genangan baru akan bermunculan. Jalan-jalan ibukota yang sudah menjadi neraka bagi penggunanya setiap hari mulai dari subuh hingga larut malam (tanpa adanya hujan), akan semakin lumpuh dengan bermunculannya titik-titik genangan baru.
Drainase yang didesain 30-40 tahun lalu sudah tidak memiliki kemiringan (slope) yang normal lagi, karena pada banyak tempat sudah menekuk (seperti patah) akibat terjadinya penurunan muka tanah sehingga tidak lagi bisa mengalirkan air secara normal ke saluran pengumpul (jaringan makro drainase yang juga sudah menjadi tempat pembuangan sampah dan akumulasi sedimen). Inilah yang kemudian saya sebut bahwa kota ini akan kelelep atau bahasa teknisnya tenggelam menjelang 2012.
Apa yang harus dilakukan oleh kita semua?
Saya kata semua karena ini merupakan tunas kita bersama, tidaknya hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat dan dunia usaha. Pertama adalahhentikan segera tindakan ekstraksi air tanah dalam yang ada. Untuk bisa menghentikan ektrasksi (moratorium) pemerintah perlu segera dan segera menyediakan air bersih perpipaan yang dapat memenuhi hampir seluruh kebutuhan air bersih perkotaan di DKI Jakarta ini.
Air bersih yang saya maksud adalah air bersih yang pelayananya prima tingkat kebocorannya rendah, kualitasnya benar-benar air minum, harganya terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Terkait dengan air bersih/minum ini kita punya persoalan serius, karena air baku kita kritis dan 97,8% tergantung dari suplai dari luar ibu kota. Ini adalah tragedi kemanusiaan karena kota yang dilewati oleh 13 sungai, karena ulah perilaku masyarakatnya yang super primitif akhirnya menjadi tempat pembuangan limbah sehingga tidak satu sungai/kalipun yang layak dijadikan air baku untuk air bersih oleh PAM Jaya (bayangkan).
Saya sebagai akademisi sudah berkali-kali memberikan peringatan, sebagai profesional dan anggota dewan sumber daya air provinsi DKI jakarta dan sebagai badan regulator pelayanan air minum DKI Jakarta telah mencoba memberikan beberapa usulan pemecahan yang sifatnya strategis dan berkelanjutan kepada pemerintah (pusat dan DKI) untuk memastikan water security ibukota NKRI ini segera ditingkatkan.
Pusat tidak bisa membiarkan Jakarta jalan sendiri menyelesaikan masalah pengelolaan SDA (kelangkaan air baku, pengendalian banjir, pengelolaan limbah cair perkotaan, dan pengendalian ekstraksi air tanah dalam). Karena Jakarta bukan hanya ibukota provinsi DKI Jakarta, tetapi juga berfungsi sebagai Ibukota NKRI berdasarkan UU No 29 tahun 2007. Saya menuji apa yang dilakukan oleh Pemerintah Mexico City 60 tahun lalu dan Bangkok 20 tahun lalu dalam mencegah kotanya tidak ambles dan tenggelam. Bagaimana dengan Jakarta dan Indonesia?
(zal/vit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar