Senin, 30 November 2009

Konflik Paksa Jutaan Anak Afganistan Bekerja

Konflik Paksa Jutaan Anak Afganistan Bekerja
KAMIS, 23 JULI 2009 | 07:07 WIB

KABUL, KOMPAS.com - Hampir 30 tahun konflik telah memaksa jutaan anak Afganistan pergi tanpa pendidikan dan bekerja untuk membantu memberi makan keluara mereka. Ini adalah hitungan PBB dan pemerintah Afghanistan yang dikeluarkan Rabu (22/7).

Dari 8,2 juta anak Afganistan -- lebih dari sepertiga penduduk negara itu sebanyak 28 juta jiwa -- 1,2 juta anak adalah pencari nafkah bagi keluarga mereka dan banyak lagi menambah pendapatan keluarga, menurut penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Afganistan, UNICEF. dan Unit Riset dan Evaluasi Afghanistan (AREU) yang independen dari 2008 hingga 2009.

"Ada sekitar 6,5 juta anak berisiko di Afganistan yang dicabut dari pendidikan," Wasel Noor Momand, wakil menteri pekerjaan umum dan urusan sosial Afganistan, mengatakan pada konferensi pers di Kabul.

"Pekerja anak merupakan salah satu masalah besar di Afghanistan yang harus kami hapuskan," ia mengatakan.

Momand mengatakan kemiskinan, keamanan yang buruk, kurangnya pendidikan dan aliran pengungsi yang kembali ke Afganistan dari negara-negara tetangga adalah faktor-faktor penting yang mendorong keluarga untuk memaksa anak-anak mereka untuk bekerja.

Survei itu dilakukan di tiga provinsi yang paling padat penduduknya di Afghasistan yakni Kabul, Badakhshan, dan Herat.

Hasil penelitian itu menunjukan anak-anak dipekerjakan bergerak dari pekerjaan yang ringan hingga yang berat dari mencuci mobil di jalanan hingga bekerja di toko dan restoran dan juga di bengkel kerja mekanika dan pabrik.

Sekitar seperempat buruh anak adalan anak perempuan yang biasanya bekerja sebagai pengurus rumahtangga untuk membantu keluarga, kata penelitian itu.

Afganistan adalah salah satu negara paling miskin dan paling tidak berkembang di dunia. Kebanyakan orang Afganistan hidup dengan kira-kira dua dollar AS sehari dan pengangguran mencapai 40 persen.

Undang-undang tenaga kerja Afganistan menetapkan bahwa anak-anak dapat bekerja dari usia 15 tahun tapi jam kerja mereka tidak boleh melebihi 35 jam dalam sepekan.

Momand mengatakan beberapa anak di bawah usia 15 tahun telah dipekerjakan dalam pekerjaan berat selama lebih dari 40 jam sepekan.

Direktur AREU Afganistan Paula Kantor, mengatakan pendidikan dan kesadaran publik mengenai hak-hak anak memainkan peran penting dalam mencegah keluarga dan masyarakat untuk menggnakan anak-anak mereka dalam angkatan kerja.

Keamanan di Afganistan memburuk sejak gerilyawan Taliban muncul kembali dengan kuat pada 2006, dengan serangan di seluruh negara itu yang membuat sulit bagi banyak orang untuk bekerja secara bebas dan bahkan memaksa sementara orang di daerah-daerah terpencil untuk bergabung dengan Taliban demi mendapatkan penghasilan.


XVD

Sumber : Ant

http://internasional.kompas.com/read/xml/2009/07/23/07074035/konflik.paksa.jutaan.anak.afganistan.bekerja

Nearly 2 tons of ivory seized in eastern Africa

Nearly 2 tons of ivory seized in eastern Africa


A Kenya Wildlife warden keeps a watch on confiscated elephant tusks, leopard,AP – A Kenya Wildlife warden keeps a watch on confiscated elephant tusks, leopard, python and crocodile skins …

NAIROBI, Kenya – African authorities raided shops, intercepted vehicles at checkpoints and used sniffer dogs to detect and seize over 3,800 pounds (1,768 kilograms) of illegal elephant ivory in a six-nation operation, Interpol and the Kenya Wildlife Service said Monday.

During the three-month-long operation, authorities also seized leopard, crocodile and snake skins, among other illegal animal products, said Awad Dahia, Interpol's eastern Africa chief.

Dahia told journalists that the operation was coordinated by theinternational police organization and involved the wildlife authorities, police and customs departments of Burundi, Ethiopia, Kenya, Rwanda, Tanzania and Uganda.

The Kenya Wildlife Service said it had arrested 65 people — three Chinese, three Tanzanians and 59 Kenyans — during the operation.

Patrick Omondi, the Kenya Wildlife Service's head of species conservation and management, said the operation highlights a rise in poaching in Kenya over the past two years. More than 216 elephants have been killed so far this year, compared to 47 in 2007, he said.

"We have seen an increase in poaching since 2007," Omondi said. "One of the factors we link this to, is the experiment on partial lifting of (the ban on) international trade in ivory in 2007 to allow Botswana, Namibia andSouth Africa to sell 108 tons last year."

Botswana, Namibia, South Africa and Zimbabwe were granted a one-time exemption in 2007 from a global ivory ban because of their thriving elephant herds. They sold their ivory stockpiles in November 2008.

Part of the 3,898 pounds (1,768 kilograms) haul of elephant ivory confiscated during the three-month investigation was announced two months ago.

In September, Kenyan and Ethiopian officials confiscated more than 2,600 pounds (1,200 kilograms) at their main international airports. Kenya Wildlife Service spokesman Paul Udoto said that seizure was part of the same mission, code-named Operation Costa, after a Tanzanian wildlife official.

Dahia said Monday that Kenyan officials had seized 1,252 pounds (568 kilograms) of ivory, but he did not say when the seizure took place.

Officials say the amount of ivory confiscated during the six-nation operation could be higher because other countries still have to report their hauls.

Bonventure Ebayi, a senior regional wildlife conservation official, said Ethiopian officials had raided shops in the capital, Addis Ababa, and seized carved illegal ivory but they are still computing the total captured.

Ebayi, the head of the Lusaka Agreement Task Force, a regional body that coordinates the enforcement work of African wildlife authorities, said other countries involved in the investigation are also still compiling the list of illegal animal products seized.

The elephant populations of many African countries were being decimated until a global ban on the ivory trade was implemented in 1989. Since then the elephant population of Kenya, for example, has grown to 35,000 this year, from 16,000 in 1989. The increased number is still lower than the estimated 167,000 elephants that roamed Kenya in 1973.


http://news.yahoo.com/s/ap/20091130/ap_on_re_af/af_eastern_africa_poaching_2

Minggu, 29 November 2009

Saudi floods death toll rises to 98

Saudi floods death toll rises to 98


Men push their cars through flooded streets in JeddahReuters – Men push their cars through flooded streets after a storm produced heavy rain in Jeddah November 25, …

JEDDAH, Saudi Arabia (Reuters) – The death toll from the heaviest rainfall to hit Saudi Arabia in years rose to 98 on Saturday as more bodies were recovered, with dozens more expected to be found, a rescue services spokesman said.

The victims were drowned or were killed by collapsing bridges and incar crashes when floodwaters caused by the torrential rainfall ripped through the Red Sea port city of Jeddah on Wednesday.

No pilgrims attending the annual Muslim haj pilgrimage 80 km (50 miles) away in Mecca were among the dead, officials have said. Jeddah is the main entry point to the kingdom for pilgrims.

Hundreds had to be rescued after being stranded by the floods, with access to the city hampered after two bridges on the highway leading to Jeddah were destroyed.

Newspapers have repeatedly reported on the poor condition of the sewerage infrastructure of the city, where many live in unauthorized developments built on dry riverbeds.

About 1.6 million pilgrims have come to Saudi Arabia from abroad for the haj, the world's largest regular religious gathering.

(Reporting by Souhail Karam; Writing by Raissa Kasolowsky)

http://news.yahoo.com/s/nm/20091128/wl_nm/us_saudi_floods;_ylt=AryE7uiU5aCbRgFv63r5NEkPLBIF;_ylu=X3oDMTJsNjJnMmFpBGFzc2V0A25tLzIwMDkxMTI4L3VzX3NhdWRpX2Zsb29kcwRwb3MDMTgEc2VjA3luX2FydGljbGVfc3VtbWFyeV9saXN0BHNsawNzYXVkaWZsb29kc2Q-

30.000 Hektar Sawah Terendam Banjir

30.000 Hektar Sawah Terendam Banjir
MINGGU, 29 NOVEMBER 2009 | 08:36 WIB

LEBAK, KOMPAS.com - Sawah Seluas 30.000 hektare di 10 kecamatan di Kabupaten Lebak, Banten, terendam banjir akibat guyuran hujan lebat sejak Selasa hingga Kamis lalu.

"Diperkirakan akibat banjir ini warga mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah," kata Kepala Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Lebak, Kaprawi.

Banjir di Kabupaten Lebak melanda 10 kecamatan yakni Wanasalam, Malingping, Banjarsari, Cijaku, Cileles, Leuwidamar, Cimarga, Rangkasbitung, Cibadak, dan Kalanganyar.

Sebagian besar sawah yang terendam banjir rata-rata usia tanam antara 20-25 setelah hari tanam (HST). Kemungkinan tanaman padi mati dan batangnya membusuk karena terendam air.

"Bila tanaman padi terendam banjir dipastikan tanaman itu mati, karena telah membusuk," katanya.

Banjir juga mengakibatkan sekitar 4.500 rumah terendam dan jembatan roboh akibat derasnya air banjir. Tahun ini merupakan siklus lima tahunan, ketinggian air 60 centimeter sampai dua meter.

"Saat ini kondisi sudah normal karena sejak Idul Adha hingga hari ini daerah itu tidak diguyur hujan lebat," katanya.

Banjir yang melanda Kabupaten Lebak akibat meluapnya sejumlah sungai yakni Ciujung, Cibeurang, Cisimeut, Cibinuangeun, dan Ciliman.

"Memang, Lebak merupakan wilayah rawan banjir karena memiliki delapan daerah aliran sungai (DAS)," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kabupaten Lebak, Enang Hidayat mengatakan, saat ini korban akibat banjir tercatat seorang meninggal dunia.

Korban meninggal dunia bernama Aris. Warga Kota Baru, Kelurahan Muara Ciujung Timur Rangkasbitung, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. "Aris tewas Rabu lalu setelah terseret Sungai Cisimeut," katanya.


BNJ

Editor: bnj

http://regional.kompas.com/read/xml/2009/11/29/08364179/30.000.Hektar.Sawah.Terendam.Banjir

Sumber : ANT

Kamis, 26 November 2009

Misteri Ledakan Cahaya Aneh Meteor Afrika

Misteri Ledakan Cahaya Aneh Meteor Afrika
Tetapi asumsi penyebab cahaya itu belum bisa dijadikan analisa final.
KAMIS, 26 NOVEMBER 2009, 16:39 WIB
Ismoko Widjaya
Meteor Jatuh di Gauteng, Afrika Selatan (youtube.com)
Meteor Jatuh di Afrika Selatan


Misteri Cahaya Meteor Afrika

VIVAnews - Meteor yang jatuh dan melintas di langit Afrika Selatan terekam video. Dalam dua video dengan versi berbeda itu terlihat ada pancaran cahaya yang luar biasa terang terjadi. Cahaya itu terlihat tidak kurang dari lima detik.

"Yang menarik itu, ada cahaya yang cukup besar," kata Thomas Djamaluddin, Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) kepada VIVAnews, Kamis 26 November 2009.

Menurut Djamaluddin, cahaya yang dipancarkan pada meteor yang jatuh Sabtu 21 November 2009 sekitar pukul 23.00 waktu setempat itu sangat terang. Bahkan, langit malam itu berubah sekejap menjadi sore atau pagi yang menjelang terang.

"Cahaya besar itu hanya beberapa detik. Mulai dari detik ke-15 sampai 18. Jadi hanya sekitar 3 detik," ujar dia.

Djamaluddin menduga, cahaya itu diakibatkan pecahan meteor yang juga disebut fireball itu. Meteor itu diduga pecah sebelum jatuh menghujam daratan di sekitar Afrika. Tetapi asumsi penyebab cahaya itu belum bisa dijadikan analisa final.

Meski demikian, saat ini belum ada data resmi dari pemerintah setempat terkait jatuhnya meteorit besar itu. "Stasiun pemantau nuklir juga belum menginformasikan soal itu," kata dia.

Hingga kini belum ditemukan adanya lubang kawah akibat jatuhnya meteor itu. Meteor itu melintas pada Sabtu 21 November 2009 sekitar pukul 23.00 waktu setempat di langit Gauteng, Afrika Selatan.

Disebutkan pula, cahaya itu tidak hanya terlihat dari langit Gauteng tapi juga dari Mpumalanga, Limpopo dan Botswana.


ismoko.widjaya@vivanews.com

• VIVAnews

Kota Jeddah Kebanjiran, 24 Tewas

Hujan Deras di Arab Saudi
Kota Jeddah Kebanjiran, 24 Tewas
Warga diminta naik ke atap bangunan untuk menghindari luapan banjir
KAMIS, 26 NOVEMBER 2009, 09:43 WIB
Renne R.A Kawilarang, Harriska Farida Adiati
Para jemaah calon haji berjalan di tengah banjir di Jeddah, Arab Saudi (AP Photo/Hassan Ammar)

VIVAnews - Sedikitnya 24 orang tewas dan beberapa orang terluka akibat banjir yang dipicu hujan lebat di Kota Jeddah, Arab Saudi, Rabu 25 November 2009. Pejabat setempat mengungkapkan kebanyakan korban tewas akibat tenggelam.

Ratusan rumah dan toko di Jeddah tergenang air karena jalanan banjir. Saat itu, hujan deras mengguyur kota pelabuhan dan pintu masuk penerbangan internasional di Arab Saudi itu selama hampir dua jam.

Pejabat pemerintah Jeddah, Mishaal bin Majed, memerintahkan pembangunan pusat-pusat kontrol untuk memonitor situasi tiap 12 jam. Di distrik Abraq Al-Raghama, warga diminta naik ke atap bangunan untuk menghindari banjir yang ketinggiannya semakin naik. Di kota-kota lain, sistem pengeringan tidak mampu mengatasi luapan air.

Seperti dikutip dari laman
Arab News, di distrik Safa dan wilayah lain, aliran listrik terputus sejak sekitar pukul dua pagi. Hujan deras ini mengguyur di hari pertama ibadah Haji, sehingga membuat arus lalu lintas terganggu.

Banjir terparah terjadi di daerah dataran rendah di timur Jeddah-Mekah Expressway, hingga mengisolir ratusan orang di distrik Quwazah dan Abruq Al-Raghama. Tiga helikopter, sejumlah perahu karet, dan juga para penyelam bekerja keras menyelamatkan orang-orang yang terperangkap. Jembatan di Mekah-Jeddah Expressway sebagian rusak akibat banjir.

Banjir tidak hanya menyebabkan kekacauan di jalan-jalan kota Jeddah. Jalan menuju Jeddah juga tertutup. Arus lalu lintas ditutup selama beberapa jam di Makkah Expressway. Jemaah calon haji yang akan menuju Mekah tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Beberapa dari mereka bahkan memilih berjalan kaki sementara sopir kendaraan mereka memilih jalan memutar. Sementara itu, Bandara Internasional King Abdulaziz International Airport tidak terlalu terganggu meski tiga pesawat yang akan mendarat dialihkan ke Madinah.

• VIVAnews

Tahun Lalu, Gas Rumah Kaca Capai Peningkatan Tertinggi

Tahun Lalu, Gas Rumah Kaca Capai Peningkatan Tertinggi
    SELASA, 24 NOVEMBER 2009 | 08:45 WIB

    GENEVA, KOMPAS.com - Gas rumah kaca telah mencapai tingkat tertingginya sejak masa pra-industri, demikian peringatan beberapa ahli meteorologi, Senin (23/11). Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), di Geneva, mengumumkan, pada 2008 terjadi peningkatan tertinggi gas rumah kaca sejak 1998.

    "Kami ingin semua keputusan tidak dilandasi atas desas-desus tapi atas kenyataan, jadi di sinilah semua fakta itu," kata Michel Jarraud, Sekretaris Jenderal WMO, yang merujuk kepada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen pada Desember.

    WMO Greenhouse Gas Bulletin memperlihatkan, hingga 2008, rasio karbon dioksida, metan, dan nitro oksida, masing-masing naik sebesar 38 persen, 157 persen, dan 19 persen sejak masa pra-industri sebelum 1750. "Apa makna kenaikan ini ialah Kyoto tak cukup," kata Jarraud, "tapi tanpa Kyoto, itu bahkan akan lebih buruk".

    Buletin itu mengungkapkan bahwa kosentrasi kloroflurokarbon (CFC) naik, berkat Protokol Montreal mengenai Bahan yang Merusak Lapisan Ozon, yang mulai diberlakukan pada 1989, kendati gas lain, halogen, meningkat dengan cepat. "Apa yang saya ketahui ialah kita tak boleh menyerah. Kita mesti melakukan setiap upaya guna mencapai kesepakatan terbaik yang mungkin dicapai di Copenhagen. Penting untuk bertekad. Penting untuk mengurangi jumlah perubahan iklim. Makin lama kita menunda keputusan, makin besar dampaknya," kata Jarraud.

    WMO, melalui Global Atmosphere Watch (GAW) Progam, mengkoordniasikan pengawasan gas rumah kaca di atmosfir melalui jaringan kerja 200 stasiun di lebih dari 50 negara. WMO didirikan pada 1950. Organisasi tersebut memiliki 188 negara anggota dan bermarkas di Geneva.


    XVD

    Editor: primus

    Sumber : Ant

    http://sains.kompas.com/read/xml/2009/11/24/08455045/tahun.lalu.gas.rumah.kaca.capai.peningkatan.tertinggi

    Reduksi Emisi, Tutup Kanal Gambut

    Reduksi Emisi, Tutup Kanal Gambut
    Lahan gambut di wilayah Riau tetap mudah terbakar meski sudah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Foto sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Riau, pekan lalu, oleh Greenpeace, yang disampaikan pada konferensi pers di Jakarta, Senin (15/6).
      RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 08:19 WIB

      JAKARTA, KOMPAS.com — Untuk mencapai target reduksi emisi 26 persen pada tahun 2020 nanti, pemerintah belum mencanangkan langkah konkret. Penutupan kanal-kanal atau drainase lahan gambut, terutama di Riau dan Kalimantan Tengah, didesakkan sebagai langkah nyata.

      ”Lahan gambut itu harus dibasahi supaya tidak terbakar dan melepas emisi. Kalau pemerintah punya komitmen menurunkan emisi sampai 26 persen, tutup kanal gambut di Riau dan Kalimantan Tengah,” kata Direktur Wetlands International Indonesia I Nyoman N Suryadiputra, Selasa (24/11) di Jakarta.

      Nyoman mengatakan, eks-Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah sebetulnya mencapai 1,5 juta hektar. Saat ini proyek tersebut meninggalkan kanal primer, sekunder, tersier, dan kuarter sepanjang 4.500 kilometer.

      Begitu pula dengan lahan gambut yang dibuka di Riau mencapai 4,5 juta hektar, memiliki panjang kanal yang jauh melampaui wilayah gambut Kalimantan Tengah. Penutupan kanal gambut di dua wilayah itu menunjang komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi 26 persen pada 2020 nanti.

      ”Selama ini ada kekeliruan kalau lahan gambut ditanami akan makin banyak menyerap karbon. Hal itu tidak memperhitungkan jumlah emisi karbon yang terlepas begitu gambut dikeringkan,” kata Nyoman.

      Ketika pelepasan emisi akibat pengeringan dan kebakaran gambut dimasukkan, Indonesia menjadi negara emiter peringkat ke-3 di dunia.

      Secara terpisah, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori menyatakan, saat ini dibutuhkan tim independen untuk mengkaji persoalan lahan gambut yang sudah diizinkan untuk dikelola pihak swasta. Pemerintah tidak dapat mencabut perizinan tanpa payung hukum yang kuat.

      ”Gambut yang memiliki kedalaman lebih dari tiga meter diprioritaskan untuk konservasi. Menteri Kehutanan akan membuat aturan baru soal ini,” kata Darori. (NAW)

      Editor: wsn

      Sumber : Kompas Cetak

      http://sains.kompas.com/read/xml/2009/11/25/0819057/reduksi.emisi.tutup.kanal.gambut.

      Pemanasan Global Lebih Buruk dari Perkiraan

      Pemanasan Global Lebih Buruk dari Perkiraan
      A lumbering polar bear, now the symbol of global warming
        SELASA, 24 NOVEMBER 2009 | 08:26 WIB

        WASHINGTON, KOMPAS.com - Sejak persepakatan Kyoto tahun 1997 tentang pemanasan global, perubahan iklim justru menunjukkan gejala memburuk dan makin cepat - melebihi perkiraan terburuk ditahun 1997.

        Ketika dunia selama belasan tahun bicara tentang pemanasan global, lautan Artik yang tadinya beku kini mencair menjadi jalur-jalur baru perkapalan. Di Greenland dan Antartika, lapisan es telah berkurang triliunan ton. Gletser di pegunungan Eropa, Amerika Selatan, Asia, dan Afrika menciut sangat cepat.

        Bersama itu pula, menjelang konferensi tingkat tinggi iklim di Kopenhagen bulan depan, fakta-fakta perubahan iklim lainnya terus berlangsung, antara lain:

        * Semua samudera di dunia telah meninggi 1.5 inchi

        * Musim panas dan kebakaran hutan makin parah di seluruh dunia, dari Amerika bagian barat hingga Australia, bahkan sampai Gurun Sahel di Afrika utara.

        * Banyak spesies kini terancam karena berubahnya iklim. Bukan saja beruang kutub yang kepayahan bermigrasi (yang telah menjadi ikon pemanasan global), tapi juga pada kupu-kupu yang sangat rapuh, berbagai spesies kodok, dan juga pada hutan-hutan pinus di Amerika utara.

        * Temperatur selama 12 tahun terakhir lebih panas 0.4 derajat dibandingkan dengan 12 tahun sebelum 1997

        Sebelumnya, di tahun 90'an, para peneliti tak ada yang memperkirakan perubahan iklim akan separah saat ini, dan tak ada yang mengira semuanya akan terjadi secepat ini. "Penelitian terakhir menyatakan bahwa keadaan kita lebih pelik dari yang tadinya disangka," kata Janos Pasztor, penasehat iklim bagi Sekjen PBB, Ban Ki-moon.

        Sejak perjanjian untuk mengurangi polusi gas berefek rumah kaca ditandatangani di Kyoto, Jepang, Desember 1997, level karbondioksida di udara telah meningkat 6,5 persen. Petinggi dari seluruh dunia akan bertemu lagi di Kopenhagen bulan depan untuk membentuk suatu perjanjian lanjutan, yang menurut Presiden Barack Obama "akan berdampak langsung secara operasional .... dan merupakan kemajuan dalam usaha menyatukan dunia untuk mencari pemecahan."

        Meski begitu, nyatanya usaha terakhir di Kyoto tak mendapatkan hasil yang diinginkan.

        Dari 1997 hingga 2008, emisi karbondioksida di dunia akibat penggunaan bahan bakar fosil telah meningkat 31 persen; emisi gas berdampak rumah kaca di Amerika juga naik 3,7 persen. Emisi dari China, yang kini merupakan penyebab polusi terbesar untuk jenis ini, telah berlipat dua selama periode 12 tahun ini. Ketika senat AS keberatan atas persetujuan terdahulu dan Presiden George W Bush mengundurkan diri dari hal itu, artinya 3 penyebab polusi terbesar dunia - AS, China, dan India - tak berpartisipasi dalam perjanjian pengurangan emisi itu. Negara berkembang tak diikutsertakan dalam protokol Kyoto dan kini hal itu akan menjadi salah satu masalah utama di Kopenhagen.

        Dan gas berefek rumah kaca ternyata lebih kuat dampaknya dan lebih cepat terbentuknya daripada perkiraan, kata para ilmuwan. "Di tahun 1997, dampak dari perubahan iklim dipandang rendah; kini rasio perubahan makin cepat," kata Virginia Burkett, peneliti perubahan iklim global dari Survei Geologis AS.

        Pernyataan terakhir itu mengkhawatirkan mantan Wapres Al Gore, yang membantu menengahi perjanjian menjelang akhir pertemuan di Kyoto. "Perbedaan yang paling serius yang kita alami adalah percepatan krisis itu sendiri," kata Gore dalam wawancara bulan ini.

        Tahun 1997, pemanasan global adalah bahan pembicaraan ilmuwan bidang iklim, pakar lingkungan, dan pelobi kebijakan. Sekarang para pakar biologi, pengacara, ekonom, insinyur, analis asuransi, manajer resiko, pakar bencana alam, pedagang komoditas, ahli nutrisi, pakar etika, dan bahka psikolog turut terlibat dalam topik pemanasan global.

        "Kita telah berjalan dari 1997, dimana pemanasan global adalah masalah abstrak di kalangan cendikiawan, hingga sekarang dimana masalah ini dibicarakan semua orang," kata Andrew Weaver, ilmuwan bidang iklim dari Universitas Victoria.

        Perubahan dalam 12 tahun terakhir yang paling mengkhawatirkan para ilmuwan adalah yang terjadi di Artik, dimana lautan es musim panasnya lumer, dan hilangnya massa es beralas daratan pada lokasi-lokasi kunci di seluruh dunia. Semuanya terjadi jauh lebih cepat dari perkiraan.

        Dahulu di tahun 1997 tak ada orang yang menyangka bahwa lautan es di Artik bisa meleleh - ini dimulai kira-kira 5 tahun yang lalu, - kata Weaver. Dari 1993 hingga 1997, es di lautan biasanya mengecil kira-kira menjadi 2,7 juta mil persegi di musim panas. Dalam lima tahun terakhir rata-rata hanya menjadi 2 juta mil persegi. Selisih itu sebesar Alaska.

        Antartika mengalami peningkatan es laut yang kecil, dikarenakan efek dingin dari lubang di ozon, menurut Survei Antartika Inggris. Dalam waktu bersamaan, bongkah-bongkahan besar dari lapisan es lepas dari semenanjung Antartika.

        Walau es di Samudera Artik tak meningkatkan permukaan laut, tapi lumernya lapisan es raksasa dan gletser bisa menaikkan permukaan laut. Kedua hal tersebut terjadi dengan cepat di kedua kutub bumi.

        Pengukuran menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, Greenland telah kehilangan lebih dari 1,5 triliun ton es, sementara Antartika 1 triliun ton sejak 2002. Menurut beberapa laporan dari Dewan Antar-Pemerintahan untuk Perubahan Iklim, para ilmuwan tidak mengantisipasi hilangnya lapisan es di Antartika, kata Weaver. Dan rasio kecepatan melelehnya es makin tinggi, sehingga lapisan es di Greenland kini meleleh dua kali lebih cepat dibanding tujuh tahun lalu, sehingga meninggikan permukaan laut.

        Gletser di seluruh dunia menciut tiga kali lebih cepat dibanding tahun 1970'an dan rata-rata tiap gletser telah kehilangan es setebal 25 kaki (7,62 m) sejak 1997, kata Michael Zemp, peneliti di Badan Pengawan Gletser Dunia di Universitas Zurich.

        "Gletser adalah pengukur iklim yang handal, " kata Zemp. "Yang terjadi adalah hilangnya es yang makin cepat."

        Dan permafrost - yaitu kawasan beku di utara juga meleleh dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, kata Burkett.

        Ada satu lagi dampak pemanasan global - baru diketahui setelah tahun 1997 - yang membuat ilmuwan gigit jari. Semua samudera makin asam karena banyaknya karbondioksida yang diserap oleh air. Ini menyebabkan pengasaman, suatu isu yang bahkan tak diberi nama hingga beberapa tahun terakhir.

        Air yang lebih asam akan merusak karang, kerang, dan plankton, yang ujungnya mengancam rantai makanan di lautan, kata para bakar biologi.

        Di tahun 1997, "tak disebut perihal tumbuhan dan satwa" dalam hal pemanasan global. Namun kini keduanya ikut terancam, kata pakar biologi Universitas Stanford, Terry Root. Kini para ilmuwan sedang memikirkan spesies mana saja yang bisa diselamatkan dari kepunahan dan mana yang sudah tak tertolong. Beruang kutub adalah spesies pertama di daftar federal untuk spesies terancam, dan hewan sejenis kelinci kecil dari Amerika, Pika, kemungkinan juga terancam.

        Lebih dari 37 juta hektar hutan pinus di Kanada dan Amerika telah dirusak oleh kumbang yang tak mati (terkendali populasinya) karena musim salju tak sedingin dahulu lagi. Dan di Amerika bagian barat, jumlah daerah yang mengalami kebakaran berlipat.

        Penampung Sungai Colorado, penyedia air besar untuk Amerika Barat, hampir penuh di tahun 1999, tapi di tahun 2007 setengah dari persediaan air telah hilang setelah daerah itu menderita kemarau berkepanjangan terparah dalam catatan seabad.

        Kerugian asuransi dan pemadaman listrik menjulang dan para ahli mengatakan bahwa pemanasaan global turut ada andilnya juga di sini. Jumlah pemadaman listrik sehubungan cuaca di Amerika dari 2004-2008 tujuh kali lebih tinggi dibanding tahun 1993-1997, kata Evan Mills, kata staf peneliti dari Lab. Nasional Lawrence Berkeley.

        "Pesan dari segi ilmu pengetahuan ialah bahwa kini kita tahu lebih banyak dibanding tahun 1997, dan semuanya kabar buruk," kata Eileen Claussen, ketua dari Pusat Perubahan Iklim Global di Pew. "Keadaannya lebih parah dari perkiraan manapun."


        C17-09

        Editor: wsn

        Sumber : AP

        http://sains.kompas.com/read/xml/2009/11/24/0826156/pemanasan.global.lebih.buruk.dari.perkiraan.

        Dikecam, Kuota 1.000 Penyu untuk Bali

        Dikecam, Kuota 1.000 Penyu untuk Bali
        Beberapa petugas kehutanan memeriksa bangkai penyu hijau (Chelonia mydas) di pesisir pantai Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Kamis (30/7). Penyu betina yang diperkirakan berumur lebih dari 30 tahun tersebut dibunuh pemburu yang mengambil telurnya.
          KAMIS, 26 NOVEMBER 2009 | 05:34 WIB

          DENPASAR, KOMPAS.com - Rencana Pemerintah Provinsi Bali membuka kembali kuota pemanfaatan 1.000 penyu per tahun dikecam masyarakat dan aktivis penyayang satwa. Rencana tersebut dikhawatirkan memengaruhi citra Bali sebagai salah satu destinasi pariwisata di dunia.

          Rencana Pemerintah Provinsi Bali memanfaatkan 1.000 ekor penyu per tahun saat ini sudah diajukan ke Departemen Kehutanan. Secara terpisah, Gubernur Made Mangku Pastika mengungkapkan, angka 1.000 itu diperoleh berdasarkan hitung-hitungan kebutuhan penyu untuk kebutuhan upacara adat keagamaan di Bali.

          ”Jadi bisa dipastikan penyu hanya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan upacara. Yang penting supaya tidak ada kegiatan ilegal terkait satwa itu. Kami melalui jalur resmi, meminta izin dan tengah dibahas oleh pemerintah pusat,” kata Pastika.

          Bendesa adat Desa Serangan, desa di Bali yang menjadi tempat bertelur penyu, Made Wiguna menyatakan, pariwisata Bali sempat terpengaruh ketika ribuan penyu dibunuh untuk konsumsi dan upacara adat keagamaan satu dekade lalu. ”Sejumlah negara sempat mengancam larangan berwisata ke Bali,” kata Wiguna, Rabu (25/11).

          Koordinator Program Penyu Nasional World Wide Fund (WWF) Indonesia Creusa Hitipeuw menyatakan, perdagangan ilegal dan penyelundupan penyu ke Bali dikhawatirkan kembali marak apabila rencana itu terealisasi. (BEN)

          Editor: tof

          Sumber : Kompas Cetak

          http://regional.kompas.com/read/xml/2009/11/26/05343172/dikecam.kuota.1.000.penyu.untuk.bali

          Dua Buah Feri Kandas di Pelabuhan Lembar

          Dua Buah Feri Kandas di Pelabuhan Lembar
          KAMIS, 26 NOVEMBER 2009 | 06:55 WIB

          MATARAM, KOMPAS.com — Dua kapal motor penyeberangan atau feri, masing-masing KMP Sindu dan KMP Rodita, kandas di sekitar jalur masuk-keluar Pelabuhan Lembar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Rabu (25/11) pukul 04.25 Wita. Semua 164 penumpangnya selamat. Mereka dievakuasi kapal dan perahu nelayan setempat.

          Kedua feri yang kandas hingga kemarin petang belum bisa ditarik ke dermaga. Rencananya, penarikan dilakukan saat air laut pasang naik.

          Kepala Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Lembar Kaimudin M, yang ditemui di Pelabuhan Lembar, menjelaskan, pagi itu KMP Sindu dalam pelayaran dari Padangbai (Bali). Posisinya 300 meter-400 meter sebelum dermaga Lembar (Lombok). Feri kandas diduga karena nakhodanya salah mengambil haluan sehingga memasuki perairan dangkal dan berlumpur. ”Saat kejadian, air laut sedang surut,” ujarnya.

          Mengenai kandasnya KMP Rodita, Kaimudin menceritakan, saat itu feri tersebut sebenarnya tengah sandar di dermaga. Feri terjebak dalam perairan dangkal dan kandas ketika bermaksud menarik KMP Sindu. ”Ini insiden kecil. Kandasnya masih di area kolam dermaga,” ujarnya.

          Kendaraan bermotor

          Selain 164 penumpang yang sudah dievakuasi, KMP Sindu mengangkut 49 kendaraan bermotor, yakni 19 kendaraan roda empat dan 30 sepeda motor. Kemarin petang, semua kendaraan bermotor itu juga masih di atas kapal.

          Kejadian itu tak mengganggu aktivitas bongkar muat dan hilir mudik angkutan laut di Pelabuhan Lembar. Posisi kedua feri tidak menghalangi jalur pelayaran.

          Masih soal kelautan, dari Manado, Sulawesi Utara, dilaporkan, gelombang tinggi dan angin kencang yang disertai hujan selama dua hari terakhir melanda perairan Teluk Manado. Akibatnya, sejumlah fasilitas usaha di kawasan Boulevard rusak.

          Terkait kondisi yang demikian, Dinas Perhubungan Sulawesi Utara melarang seluruh kapal motor penumpang melakukan pelayaran ke Sangihe, Talaud, dan Sitaro.

          Kepala Dinas Perhubungan R Kenap di Manado, kemarin, mengatakan, larangan berlayar dari Pelabuhan Manado diberlakukan selama tiga hari, terhitung sejak Rabu. ”Belasan kapal motor yang menuju ke Sangihe, Talaud, dan Sitaro, sejak Selasa lalu bahkan tidak diperkenankan berlayar,” katanya.

          ”Kami menerima peringatan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa cuaca buruk selama seminggu,” kata Kenap.

          BMKG memprakirakan, tinggi gelombang laut mencapai 5 meter dengan kecepatan angin sekitar 45 km per jam selama pekan ini.

          Akibat adanya larangan itu, kemarin ratusan calon penumpang yang akan bepergian ke Sangihe, Talaud, dan Sitaro tertahan di Pelabuhan Manado. Sebagian di antara mereka terpaksa menginap di terminal penumpang, menunggu keberangkatan.

          Rugi miliaran rupiah

          Menurut sejumlah pengusaha di kawasan Bahu Mall dan Manado Town Square, yang berada di kawasan jalan pantai Boulevard, mereka mengalami kerugian miliaran rupiah akibat terjangan gelombang tinggi laut. ”Tiga kapal bernilai Rp 1,2 miliar yang biasa dijadikan sebagai rumah makan terapung rusak dihantam ombak setinggi empat meter. Satu kapal lainnya bahkan terbelah dua. Sebagian puingnya hanyut terbawa air laut,” kata seorang pengusaha yang tak bersedia disebutkan namanya.

          Hengky Wijaya, pemilik Manado Town Square, menambahkan, penangkal ombak yang dibangunnya senilai Rp 1 miliar, di sekitar lokasi malnya, kini rusak sepanjang 100 meter. (rul/zal)

          Editor: tof

          Sumber : Kompas Cetak

          http://regional.kompas.com/read/xml/2009/11/26/0655549/Dua.Buah.Feri.Kandas.di.Pelabuhan.Lembar