VIVAnews - Lampu senter tidak terlalu membantu menerangi lorong gelap yang mereka lalui. Ditambah beban berat tangki oksigen serta panasnya baju terusan anti radiasi yang mereka kenakan, situasi sangatlah tidak nyaman.
Apalagi, baju anti radiasi itu pun cuma namanya saja. Pada kenyataannya, pakaian itu hanya melindungi mereka sedikit saja dari bahaya radiasi.
Tapi tak sedikitpun keluhan keluar dari mulut mereka. Padahal, mereka sedang bertaruh nyawa di tempat itu. Setiap detik, bisa saja ledakan dan radiasi merenggut nyawa mereka. Jika pun tak meninggal seketika, berbagai penyakit mengerikan telah mengintai mereka dalam 20-30 tahun ke depan; atau bahkan lebih cepat dari itu.
"Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib ini seperti menerima vonis mati,” begitu isi pesan singkat seorang pekerja kepada keluarganya.
Adalah 200 pekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Dai-ichi, yang secara sukarela memilih tinggal di tempat berbahaya itu. Mereka mencoba mendinginkan reaktor nuklir yang sedang memuntahkan radiasi dalam batas yang tak terbayangkan, serta memantaunya detik demi detik.
Mereka membagi diri dalam empat shift, tiap kelompok 50 orang. Mereka kerap disebut The Fukushima Fifty, 50 orang luar biasa yang siap mati.
Perusahaan tempat mereka bekerja, Tokyo Power Plant Co (Tepco) menurut New York Times, menolak mengungkapkan identitas para pekerja yang bertahan di situ. Tepco hanya mengatakan mereka ditugasi untuk memompa air laut dan menjaga reaktor tetap dingin. Sekaligus, untuk memantau tingkat radiasi dengan menggunakan pengukur kecil yang mereka bawa, karena pengukur radiasi di instalasi PLTN tersebut telah rusak.
Lebih penting lagi, mereka juga ditugasi untuk mencari cara agar perangkat inti PLTN tidak ikut hancur akibat ledakan berkali-kali beberapa hari lalu. Sebab, jika itu terjadi, akibatnya sungguh fatal. Zat radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.
"Melawan rasa lelah dan perut kosong, kami memaksa diri untuk terus bekerja,” tulis salah seorang pekerja, Michiko Otsuki, di Internet.
New York Times menulis, 200 pekerja yang tinggal ini bukanlah para pemuda gagah berani yang memiliki keahlian dan pengetahuan tinggi mengenai nuklir. Bukan pula manajer yang memang bertanggung jawab atas jalannya reaktor. Mereka adalah para lelaki tua, pekerja dan pemadam kebakaran yang sedikit lagi--tidak sampai setengah tahun--akan memasuki masa pensiun.
Jadi, jikapun mereka terpapar radiasi, mereka berharap tak akan sempat merasakan penyakit yang akan menggerogoti tubuh mereka 20-30 tahun dari sekarang. Mereka berharap sudah akan dipanggil Sang Khalik karena usia tua, bukan lantaran leukemia, katarak, maupun kanker.
Di dalam pembangkit nuklir tersebut, tingkat radiasi mencapai 1.000 milliseverts (mSv) dalam satu jam. Tak jelas berapa banyak radiasi yang telah diserap oleh para pekerja itu. Yang jelas, Jepang dan Amerika Serikat telah menetapkan batas aman radiasi yang dapat diterima seseorang hanyalah 50 mSv dalam satu tahun. Untuk situasi darurat seperti ini, Kementerian Kesehatan Jepang membolehkan radiasi hingga 250 mSv, itu pun sudah maksimal.
Dan para pekerja itu mulai berguguran, satu persatu. Dari yang memilih bertahan di dalam pembangkit, lima di antaranya dilaporkan telah meninggal dunia, dua hilang, dan 21 lainnya terluka.
Jutaan nyawa lain
Yang sedang diperjuangkan para pekerja itu, dengan nyawa mereka, adalah enam reaktor nuklir. Tiga telah meledak dalam proses pendinginan. Secara bergantian, mereka memantau dan memompa air laut untuk mendinginkan reaktor untuk mencegah petaka nuklir dan merenggut lebih banyak lagi nyawa manusia.
Setelah gempa 9 Skala Richter dan tsunami dahsyat menerjang pesisir timur Jepang pada Jumat, 11 Maret 2011, nyawa yang melayang sudah tak terkira. Menurut laporan dari Badan Polisi Nasional Jepang per tanggal 16 Maret 2011, korban tewas mencapai angka 3.676 orang, 1.990 terluka, dan 7.558 orang masih dilaporkan hilang di 16 prefektur yang disapu tsunami. Diperkirakan, angka tewas di lapangan jauh lebih besar lagi, dan dikhawatirkan bisa mencapai puluhan ribu orang.
Dan nyawa yang hilang niscaya akan berlipat-lipat jika pembangkit nuklir itu gagal didinginkan, meledak, lalu menebar zat radioaktif yang mematikan keluar.
Adalah getaran gempa yang merusak infrastruktur PLTN yang terdiri dari beberapa bangunan dan enam reaktor. Salah satunya teramat vital: generator diesel raksasa untuk menjaga pendinginan reaktor.
Menurut laman JMA, sistem peringatan dini tsunami terhubung dengan beberapa fasilitas vital di Jepang. Begitu peringatan menyala, sistem akan otomatis menghentikan kereta api, mengendalikan lift, dan mengatur laju lalu lintas. Nah, sistem itu juga lalu memadamkan secara otomatis listrik di reaktor nuklir. Celakanya, ketika itu terjadi, generator sebagai penyalur energi cadangan juga rusak sehingga aliran listrik putus sama sekali. Pendinginan gagal dan petaka pun mengintai.
Tiga unit reaktor nuklir yang masih aktif kini jadi pusat perhatian dunia. Reaktor-reaktor itu adalah tipe reaktor air panas yang membutuhkan temperatur tertentu untuk beroperasi dengan aman.
Seperti diberitakan CNN, batangan bahan bakar (fuel rods) normalnya bekerja di suhu 760 derajat Celcius. Jika suhu meningkat hingga lebih dari 1.200 derajat Celcius, fuel rods akan rusak. Semakin panas lagi, fuel rods akan meleleh. Lelehan inilah yang akan menyebarkan radiasi, bahkan dapat menguapkan inti reaktor. Bila ini sampai terjadi, bencana mengerikan akan terjadi.
Dalam waktu empat hari, tiga reaktor nuklir yang aktif meledak. Reaktor unit satu meledak pada 12 Maret 2011. Unit tiga meledak dua hari kemudian. Dan berselang sehari, giliran unit dua yang meledak.
Perdana Menteri Jepang Naoto Kan pun langsung mengumumkan situasi darurat-nuklir. Sebanyak 170 ribu warga di radius hingga 20 km diungsikan. Di luar itu, pemerintah menghimbau mereka untuk tetap di dalam rumah, menutup semua jalur udara, dan menutup mulut dengan handuk.
Belum jelas apa penyebab pasti ledakan itu. Namun, menurut Associated Press, ledakan terjadi ketika petugas PLTN berusaha mendinginkan reaktor nomor satu menggunakan air. Ternyata, air yang mereka gelontorkan menciptakan hidrogen ketika terpapar fuel rods. Besarnya tekanan memaksa petugas mengeluarkan hidrogen sebagian. Namun, saat dikeluarkan hidrogen itu malah bercampur dengan oksigen dan mengakibatkan ledakan.
Tingkat radiasi yang keluar dari reaktor yang rusak masih turun naik. Menurut MSNBC, pada 15 Maret 2011 radiasi bisa mencapai 11.900 mSv/jam. Para ahli dari Indonesia yang dikumpulkan di KBRI Tokyo, bahkan mengatakan tingkat radiasi di daerah dekat reaktor mencapai hingga 400 ribu mSv/jam.
Petugas yang bekerja pun kucing-kucingan dengan radiasi. Jika memuncak, mereka menyingkir. Jika menurun, mereka maju, melakukan berbagai hal, sebisanya.
Radiasi bahkan dikabarkan terbawa angin dan telah mencapai Tokyo yang berjarak 250 km dari PLTN.
Kepala Badan Energi Atom Internasional PBB (IAEA), Yukiya Amano, pada Rabu, telah menyatakan situasi di Fukushima sangat serius. Amano mengatakan fuel rods di unit 4, 5 dan 6 telah terekspos udara dan menyebarkan radiasi. Berbagai negara mulai menyerukan warga negaranya untuk menjauhi PLTN Fukushima, setidaknya hingga radius 80 km.
Berbahaya, memang.
Namun, nuklir selama ini menjadi andalan Jepang dalam memenuhi kebutuhan listrik mereka sehari-hari. Data dari Federasi Perusahaan Pembangkit Listrik (FEPC) Jepang, negeri ini mengoperasikan 55 reaktor nuklir yang dihasilkan listrik sebesar hampir 50 gigawatt. Energi ini menyumbang 34,5 persen kebutuhan listrik di Jepang.
Di Jepang energi nuklir telah menjadi prioritas strategis sejak 1973. Bagi mereka, energi nuklir merupakan pilihan bijak sebab Negeri Sakura tak memiliki banyak sumber minyak dan gas.
Fukushima bukan kecelakaan nuklir yang pertama di Jepang. Pada pertengahan 1990, sempat terjadi beberapa kecelakaan nuklir, di antaranya kecelakaan Tokaimura. Toh, pemerintah Jepang terus kukuh mengembangkan energi nuklir.
Chernobyl, Three Mile, Fukushima
Tragedi Fukushima langsung mengingatkan dunia pada dua tragedi nuklir lainnya.
Di tahun 1986, pembangkit listrik tenaga nuklir di Republik Sosial Soviet Ukraina (sekarang Ukraina) tiba-tiba mati daya. Akibat memanasnya sistem, beberapa ledakan terjadi. Petaka berpuncak ketika sebagian inti nuklir meleleh.
Radiasi di luar area ledakan mencapai 50 kali lebih besar dari radiasi di Fukushima. Radiasi tingkat tinggi ini menyebar ke seluruh bagian barat Uni Soviet, Eropa Timur, Eropa Barat, dan Eropa Utara. Sebagian besar warga di Ukraina, Belarus dan Rusia diungsikan, dan 336 ribu orang di antaranya memilih tidak kembali.
Akibat paparan radiasi, 31 pekerja PLTN dan pemadam kebakaran yang kala itu berada di lokasi meninggal dalam hitungan bulan. Sebanyak 4.000 anak-anak dan dewasa mengidap kanker tiroid setelah mengkonsumsi susu yang terkontaminasi radioaktif. Dilaporkan, lima juta orang terkena dampak radiasi dan menderita sejumlah penyakit, mulai dari cacat tubuh hingga kanker. Sampai saat ini, tingkat radiasi di Chernobyl masih dalam taraf kritis.
Berdasarkan perhitungan International Nuclear and Radiological Event Scale (INES), skala kecelakaan Chernobyl mencapai level 7, level tertinggi dalam sebuah kecelakaan nuklir.
Sebelumnya, pada tahun 1979, kecelakaan serupa terjadi di Pulau Three Mile, Pennsylvania, AS. Sebagian inti nuklir di PLTN ini juga meleleh. Beruntung, karena selubung reaktor tidak rusak, maka meski radiasi menyebar ke wilayah yang cukup luas, tapi tarafnya masih tergolong rendah. Peristiwa Three Mile dikategorikan kecelakaan nuklir level dua, yakni kecelakaan nuklir dengan cakupan wilayah yang luas.
Bagaimana dengan Fukushima?
Seperti diberitakan NHK, Jumat kemarin, Badan Keselamatan Industri Nuklir Jepang telah menaikkan skala radiasi ke level 5 dari level tertinggi 7 dalam Skala INES. Ini karena lebih dari 3 persen dari bahan bakar nuklir telah rusak dan bahan radioaktif telah bocor dari pembangkit.
Situasi artinya telah menjadi semakin gawat saat KBRI Tokyo pada Rabu sebelumnya mengumpulkan 10 ahli nuklir Indonesia yang rata-rata sedang mengambil gelar doktor di sejumlah universitas di Negeri Sakura.
Para ahli ini, seperti dimuat di laman KBRI, menyimpulkan bahwa kecelakaan di reaktor Fukushima Unit 1 sampai 4 masih di skala 4 INES. Artinya, lingkup kecelakaan masih di sekitar PLTN Fukushima. Namun, kecelakaan ini telah merusak gedung reaktor, kolam cadangan air pendingin, dan mengakibatkan kebakaran di gedung reaktor yang menyimpan bahan bakar bekas.
Jikapun terjadi pelelehan inti nuklir, diperkirakan radiasi yang dilepaskan tidak akan sebesar peristiwa Chernobyl. Dilansir laman The Guardian, setiap reaktor di Fukushima memiliki selubung baja setebal 20 cm. Selubung itu masih dibungkus lagi dengan bangunan beton. Jadi, jikapun meleleh, dampaknya diperkirakan tidak akan terlalu parah.
***
Yang parah tak terkira tentu mereka yang berada di dalam selubung beton tebal itu, di mana para pekerja berani mati masih terus berkutat. Mereka mengusahakan segala cara, semampu mereka, untuk mendinginkan dan memantau reaktor di PLTN Fukushima.
“Saya mendengar kalau dia menawarkan dirinya untuk jadi sukarelawan, walaupun dia akan pensiun setengah tahun lagi. Mataku tak kuasa menahan tangis… Di rumah dia terlihat bukan tipe orang yang mampu melakukan tugas-tugas besar. Tapi hari ini saya sangat bangga padanya. Dan saya berdoa untuk keselamatannya,” tulis seseorang di Twitter dengan akun @NamicoAoto.
Salah satu relawan itu adalah ayah kandungnya sendiri, yang sudah berusia 59 tahun.
"Ayah, aku mohon, kembalilah dengan selamat."
(kd)
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar