Rabu, 16 Maret 2011

Bank Dunia: Pangan Mahal, Kemiskinan Melonjak

Bank Dunia: Pangan Mahal, Kemiskinan Melonjak
"Secara global kenaikan harga pangan membuat 68 juta orang masuk ke jurang kemiskinan."
RABU, 16 MARET 2011, 11:39 WIB
Hadi Suprapto, Anda Nurlaila

VIVAnews - Lonjakan harga pangan dan energi menyebabkan kemiskinan secara global meluas. Menurut Food Price Watch Bank Dunia, pada Februari 2011, kemiskinan bertambah 44 juta rumah tangga, atau sekitar 0,8 persen dari jumlah penduduk di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Shubham Chaudhuri, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, menjelaskan bahwa secara global kenaikan harga pangan membuat 68 juta orang masuk ke jurang kemiskinan, dan 24 juta orang lainnya keluar dari kemiskinan.

"Kemiskinan lebih tinggi daripada lima tahun terakhir," kata dia dalam seminar Indonesia Economic Quarterly di Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa, 16 Maret 2011.

Meningkatnya harga beras membuat rumah tangga petani makin terpuruk. Menurut Chaudhuri, mereka sangat rentan terhadap harga pangan dan energi.

Di Indonesia, setengah penduduknya mengakolaksikan belanja pangan hingga 50 persen dari total pengeluaran. Pengeluaran beras mencapai 17 persen dari 20 persen penduduk paling miskin. Sementara harga energi telah naik 28 persen pada Februari 2011. Indeks kemiskinan naik 13 persen pada Desember 2010, 6 poin lebih tinggi dari laju inflasi umum sebelum turun menjadi 10,5 persen pada Februari.

"Walaupun ada pertumbuhan selama 2011 dari investasi, sektor manufaktur dan jasa, serta permintaan komoditas dari China dan India meningkat, gejolak harga bahan pangan meningkatkan level kemiskinan."

Chaudhury melanjutkan, harga pangan secara global meningkat, namun harga beras domestik ljauh ebih mahal daripada harga internasional. Contohnya, saat ada gejolak pasokan domestik 2010, harga beras dalam negeri lebih tinggi 77 persen daripada harga global pada Agustus, dan menjadi 33 persen pada Januari 2011, lalu turun lagi menjadi 17 persen pada Februari 2011.

"Tingkat kemiskinan akibat harga pangan tahun ini bisa menyamai 2005-2006, saat itu melaju dari 15,7 persen menjadi 17,8 persen."

Karena itu, kata dia, pemerintah perlu berusaha meningkatkan pertumbuhan inklusif, atau pertumbuhan yang menguntungkan bagi semuanya, untuk melawan ketimpangan pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan.

Pada saat bersamaan, pertumbuhan ekonomi juga membawa peningkatan level kesejahteraan pada sebagian masyarakat Indonesia. Direktur Bank Dunia untuk Indonesia, Stefan Koeberle, menyatakan pertumbuhan positif akan menambah besaran kelas menengah Indonesia. "Dalam tujuh tahun terakhir, tiap tahun ada tujuh juta jiwa tambahan kelompok menengah bawah," katanya.

• VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar