VIVAnews - Krisis nuklir akibat kerusakan sejumlah reaktor di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, Jepang, tak juga berakhir. Selain masalah pada reaktor, krisis diperparah dengan sebaran radiasi yang kini mencapai beberapa negara tetangga Jepang.
Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, pada Selasa, 29 Maret 2011, menyatakan negaranya kini dalam keadaan "siaga maksimum". Pernyataannya ini dikeluarkan setelah operator PLTN di Fukushima yang rusak, TEPCO, mendeteksi plutonium pada kandungan tanah di sekitar PLTN.
Selain itu, air terkontaminasi radioaktif tingkat tinggi telah bocor dari gedung reaktor yang rusak.
Menurut TEPCO, unsur plutonium ditemukan pada lima titik di sekitar kompleks PLTN. Namun, mereka menyatakan tingkat pencemarannya belum sampai membahayakan kesehatan manusia.
Sementara itu, muncul kabar bahwa para pekerja menemukan kolam-kolam baru berisi air radioaktif yang bocor dari kompleks nuklir Jepang. Para pejabat percaya itu penyebab melonjaknya tingkat radiasi yang menyebar ke tanah dan air laut di negeri itu. Radiasi juga tersebar ke udara yang kemudian terbawa angin, hingga ratusan kilometer jauhnya.
Tercatat sejumlah negara Asia timur mendeteksi kandungan zat radioaktif iodine-131 di udara negara mereka. Walaupun terhitung masih dalam kadar tidak membahayakan, namun pemerintah negara-negara itu memilih mencari aman dengan mencegah adanya kandungan radioaktif menyusup masuk melalui makanan dari Jepang.
Salah satunya adalah pemerintah China. Dilansir dari laman Associated Press, negara ini mendeteksi adanya kandungan radioaktif iodine-131 dengan kadar kecil di provinsi Heilongjiang di timur China pada Senin, 28 Maret 2011.
Hal ini mendorong Kementerian Kesehatan China menerapkan pengujian makanan dan minuman di 14 provinsi dan sejumlah kota di daerah pesisir timur laut negara itu. Sebagai negara berdekatan dengan Jepang, pemerintah China khawatir radioaktif mengkontaminasi makanan dan minuman.
Sebelumnya, pada Jumat pekan lalu, pemerintah China melarang impor berbagai produk makanan dari Jepang. Menurut pernyataan Badan Pengawas Kualitas China, pemerintah melarang berbagai produk hasil ternak, buah-buahan, sayuran, makanan laut, dan berbagai produk air minum kemasan dari lima wilayah dekat dengan PLTN Fukushima Daiichi.
Hal serupa juga terjadi di Filipina. Menurut stasiun berita ABS-CBN, Institut Penelitian Nuklir Filipina (PNRI) mendeteksi adanya isotop dari Jepang. Namun, masyarakat diminta tetap tenang.
PNRI mencatat tingkat radiasi yang dipantau pada Selasa pagi, 29 Maret 2011, masih dalam katagori normal, yaitu berkisar 93-115 nano Sieverts per jam (nSv/h). Padahal garis pantai terdekat Filipina dengan lokasi PLTN di Fukushima berjarak sekitar 2.500 km dari sebelah barat daya Jepang.
Namun demikian, pemerintah Filipina tak menghentikan impor makanan dari Jepang. Menteri Kesehatan Filipina, Enrique Ona, mengatakan contoh makanan dari Jepang yang diuji tak mengandung radiasi sehingga aman untuk dipasarkan.
Satu-satunya produk Jepang dilarang di Filipina adalah coklat. Pemerintah Filipina melarang impor coklat yang dibuat dari susu yang diambil dari empat wilayah dekat reaktor nuklir, yaitu Fukushima, Ibaraki, Tochigi dan Gunma.
Di Korea Selatan, pada Selasa, ditemukan kadar radioaktif di tujuh wilayah di negara tersebut, salah satunya adalah ibukota Korsel, Seoul. Badan Keamanan Nuklir Korsel mengatakan kadarnya masih tergolong kecil sehingga tak berbahaya bagi kesehatan manusia.
Setali tiga uang dengan dua negara sebelumnya, pemerintah Korsel juga melarang impor makanan dari empat wilayah terdekat dengan reaktor nuklir yang bermasalah di Fukushima.
Selain menguji kadar radiasi pada makanan asal Jepang, Korsel juga menguji ikan hasil tangkapan dari perairannya, karena khawatir terkontaminasi radiasi.
Sejauh ini, hasil pengujian menunjukkan semua bahan makanan itu tak mengandung radioaktif. Namun, tetap saja pelarangan makanan asal Jepang diberlakukan sebagai tindakan pencegahan.
Mungkin berita paling mengejutkan adalah terdeteksinya kandungan radiasi pada curah hujan di Amerika Serikat, berjarak ribuan kilometer dari lokasi PLTN.
Dilansir dari laman MSNBC, partikel radioaktif ditemukan dalam sampel air hujan turun di Massachusetts selama seminggu belakangan di 100 lokasi di wilayah itu. Itu menurut hasil pengawasan U.S. Environmental Protection Agency's Radiation Network, yang diumumkan Minggu 27 Maret 2011 lalu.
Seperti negara-negara lainnya, AS juga dilaporkan melarang semua jenis produk impor dari Jepang.
Selain negara-negara itu, negara lain diantaranya Kanada, Australia, Rusia, Singapura dan Thailand juga memberlakukan larangan impor atau melakukan pengujian terhadap produk dari Jepang.
Dilaporkan oleh Huffington Post, pemerintah Thailand dengan tegas mengatakan akan menghancurkan semua pengiriman ubi dari daerah yang terkena dampak radiasi di Jepang.
Berlebih-lebihan?
Pelarangan makanan dari Jepang akibat ketakutan kontaminasi radiasi dinilai terlalu berlebihan. Hal ini disampaikan Charles Ebinger, ahli politik energi dari Brookings Institution, sebuah organisasi nirlaba berbasis di Washington, AS.
Seperti dimuat di laman Voice of America, Ebinger mengatakan sebagian besar orang dewasa di AS rata-rata meminum satu liter susu yang terkontaminasi radiasi setara radiasi pada CAT scan setiap harinya selama satu tahun.
Lebih jauh, Ebinger mengatakan pelarangan makanan akan merusak perekonomian Jepang, terutama perekonomian di daerah timur negara tersebut. "Jepang bagian timur sangat bergantung pada hasil pertanian dan ikan, jadi saya kira daerah tersebut ekonomi sangat terpengaruh akibat pelarangan ini," ujar Ebinger.
Kerugian ekonomi yang akan menimpa Jepang akibat pelarangan ini dikatakan akan kian membuat perekonomian Jepang kian terpuruk. Lembaga riset keuangan Wells Fargo & co. memperkirakan Jepang akan jatuh ke dalam resesi paling lambat pada akhir tahun ini.
Lembaga riset lainnya, Moody's Analytic, menaksir peningkatan produk domestik bruto (PDB) Jepang hanya satu persen pada tahun ini. Sebelum bencana, Moody's Analytic memperkirakan PDB Jepang mencapai 1,4 persen pada tahun ini.
"Konsumen dan importir dimana-mana membuat kesalahan karena terlalu khawatir," ujar Jeffrey Garten, profesor perdagangan dan keuangan internasional di Universitas Yale.
"Mereka tidak tahu seberapa buruk hal ini, dan mereka tidak percaya siapapun memberikan penilaian yang benar. Saya kira sekarang kita baru memulai sesuatu yang masih akan berlangsung lama," ujar Garten. [np]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar