Selasa, 08 September 2009

Di Jogja, 41 Kali Gempa Bumi

Di Jogja, 41 Kali Gempa Bumi
Selama Tiga Bulan Terakhir
SELASA, 8 SEPTEMBER 2009 | 20:08 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Defri Werdiono

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Stasiun Geofisika Yogyakarta mencatat 41 kali gempa bumi terjadi antara Juni dan Agustus 2009, yang berpusat di sekitar Yogyakarta atau berada pada 110-111 derajat bujur timur. Dari jumlah tersebut, empat di antaranya bisa dirasakan masyarakat karena kekuatannya di atas 3 skala Richter.

Memasuki September, gempa terakhir dirasakan Senin (7/9) pukul 23.12. Sumber gempa berkekuatan 6,8 skala Richter (SR) itu berada 283 kilometer tenggara Kota Yogyakarta. Kepala Stasiun Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Yogyakarta Budi Waluyo, Selasa (8/9) siang, mengatakan, tidak ada informasi kerusakan akibat peristiwa itu.

Adapun gempa yang terjadi Juni-Agustus masing-masing di bawah 2 SR sebanyak lima kali; 2 sampai 3 SR (23); 3,1-5 SR (11), dan sisanya di atas 5 SR. Gempa yang sempat dirasakan masyarakat terjadi tanggal 12 Agustus berkekuatan 3 SR, 19 Agustus (3,9 SR) dan (3,3 SR), serta 22 Agustus (3,5 SR). Sebagian besar merupakan gempa dangkal kurang dari 70 kilometer.

"Kalau ada yang bertanya kenapa sekarang sering gempa? Sebetulnya tidak, kondisinya normal. Hanya saja, potensi gempa merusak akan terulang, kapan waktunya tidak ada yang tahu," kata Budi.

Menurut Budi, semakin kecil kekuatan gempa maka frekuensinya semakin sering. Begitu pula semakin banyak seismograf yang terpasang maka getaran yang terekam semakin banyak. Di dunia kurang lebih terjadi 3 juta kali gempa bumi dengan kekuatan 3-4 SR per tahun. Sebaliknya, gempa berkekuatan besar hanya satu-dua kali.

Untuk Indonesia, termasuk Yogyakarta, sumber gempa berasal dari gerakan lempeng Indo-Australia yang menumbuk Eurasia. Lokasi tumbukan (subduksi) mulai dari barat Sumatera, selatan Jawa, hingga Nusa Tenggara, kemudian berbelok ke kiri. Ada satu lempeng lagi yakni Pasifik yang berada di timur dan bergerak ke barat.

"Daerah kita memang rawan, oleh karena itu harus diantisipasi. Banyak korban meninggal bukan karena gempanya, tetapi tertimpa bangunan. Buatlah bangunan yang kuat," kata Budi, yang menyarankan pentingnya memasang alat peringatan dini untuk mengantisipasi tsunami pada kawasan lokal di pantai. Alat yang dia maksud adalah detektor sederhana otomatis dengan bahan radar pompa air.

Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika Toni Agus Wijaya mengatakan, ada beberapa syarat terjadinya tsunami, salah satunya mekanisme patahan dasar laut terangkat atau bukan bergeser.

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/09/08/20081125/Di.Jogja..41.Kali.Gempa.Bumi.Selama.Tiga.Bulan.Terakhir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar