Rabu, 09 Desember 2009

Menganggur, Stres, Hingga Rindu Kampung Halaman yang Hilang

Rabu, 02/12/2009 13:57 WIB
2 Bulan Gempa Sumbar
Menganggur, Stres, Hingga Rindu Kampung Halaman yang Hilang
Yonda Sisko - detikNews

dok detikcom
Padang - Lewat dua bulan, gempa besar berkekuatan 7,9 SR yang mengguncang wilayah Sumatera Barat (Sumbar) 30 September 2009 lalu masih menyisakan banyak persoalan bagi para korban. Selain kesulitan ekonomi yang mendera, kesedihan karena kehilangan sanak saudara, kehilangan tempat tinggal, serta sederet persoalan pasca gempa lainnya. Tidak sedikit pula di antara mereka yang mulai gamang dengan kondisi yang kini dihadapi.

"Hampir separuh anggota keluarga besar saya kini kehilangan pekerjaan dan terpaksa kerja serabutan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kakak saya yang sebelumnya punya usaha sablon kini kembali berladang kacang karena kedainya ambruk dan peralatan sablonnya hancur," ujar Marwan (32), warga Simpang Gadur, Kecamatan Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman pada detikcom, Rabu (2/12/2009).

Menurut Marwan, persoalan terberat yang kini dihadapai rata-rata korban gempa di kawasan tempat tinggalnya adalah bagaimana menyediakan kembali hunian yang layak untuk keluarga mereka. Gempa 30 September 2009, kata dia, membuat lebih dari 80 persen rumah di kampungnya rusak parah. Bahkan, tidak sedikit di antaranya yang sama sekali hancur rata dengan tanah.

Persoalannya, kata Marwan, tidak mudah bagi warga untuk segera membangun tempat tinggal yang layak itu dalam kondisi seperti sekarang. Selain ekonomi yang semakin sulit, membumbungnya harga material bangunan di Padang Pariaman membuat warga harus mempertebal rasa sabar.

Meski harga di masing-masing penjual berbeda, menurut Marwan, harga semen di Padang Pariaman sudah mencapai Rp 70.000/zak. Sementara, harga pasir melonjak 100 persen menjadi Rp.180 ribu per mobil pick up. Padahal sebelumnya hanya Rp.90.000. Lonjakan harga juga terjadi pada batu bata yang harganya mencapai Rp 1000 per satuan.

"Untuk keluarga besar saya saja, separuhnya hingga kini masih tidur di tenda bantuan yang mulai bocor di sana-sininya. Sedangkan, sebagian lagi ada yang tidur di dapur yang kebetulan tidak ikut ambruk saat gempa. Persoalan serupa boleh dikatakan juga dialami korban gempa lainnya di sini, lengkap dengan segala permasalahannya seperti terserang ISPA, gatal-gatal dan stress," kata Marwan.

Rindu Kampung Halaman


Risau hati yang mendalam juga dialami Halimah Tusa’diah (87), warga Kenagarian Garagahan, Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumbar. Keinginannya untuk menjalani masa tua dan menghabiskan sisa hidup di kampung halaman terpaksa ditahan karena satu-satunya rumah tempat tinggal dan berkumpul anak cucunya di kampung ikut hancur saat gempa terjadi.

"Apa daya, untuk saat ini kami masih belum mampu untuk membangun rumah baru di kampung meski hampir setiap hari Umi (ibu) kami mendesak untuk kembali ke kampung. Umi sangat mencintai rumah peninggalan orang tuanya itu dan kami hampir kehabisan akal untuk membuatnya bisa tetap bertahan di Padang," ujar Nida (45), warga Tabing Padang saat berbincang dengan detikcom di rumahnya, Rabu (2/12/2009).

Dikatakan Nida, pernah beberapakali orang tuanya yang sudah uzur itu menghilang dari rumah. Saat ditemukan, orangtuanya berada di pinggir jalan raya menunggu angkutan untuk membawanya kembali ke kampung. Bahkan, tidak jarang orang tuanya terbangun tengah malam dan meminta untuk diantar ke kampung dengan alasan ingin membersihkan pusara orang tuanya.

Kalau sudah demikian, kata Nida, ia hanya dapat menghibur orang tuanya dengan mengatakan bahwa rumah di kampung sedang diperbaiki. Padahal, sebenarnya rumah mereka belum diperbaiki sama sekali. Kondisinya juga rusak parah dan harus diruntuhkan.

"Ayah kami meninggal dunia dan Umi sudah menjadi janda dalam usia yang relatif muda dengan 6 anak yang masih kecil-kecil. Untuk menghidupi dan membesarkan kami, Umi berjuang di Bukittinggi sebagai penyepuh perhiasan. Saya tahu betul, sejak mudanya Umi ingin sekali untuk hidup di kampung karena pusara orang tua dan keluarganya ada di sana," tuturnya.

Lebih lanjut Nida menuturkan, ia beserta adik-adiknya masih bingung bagaimana cara mengatasi persoalan yang kini mereka hadapi. Di satu sisi, mereka memiliki keinginan agar orang tuanya bertahan di Padang sehingga mereka dapat merawatnya dengan baik. Namun, di sisi lain mereka melihat kebahagiaan terbesar orang tua mereka justru bila secepatnya kembali ke kampung halaman.

"Bukannya tidak bersyukur, sejujurnya secara ekonomi kami sekeluarga rata-rata masih berjuang untuk bisa makan. Bila dihadapkan pada persoalan untuk membangun rumah baru secepatnya seperti sekarang kami betul-betul merasa sulit. Kalau boleh dikatakan, gempa kemarin itu membuat kami rasanya seperti kehilangan kampung halaman," tuturnya.
(yon/djo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar