Alat pendeteksi tsunami Mentawai rusak
1) Alat pencatat di dasar laut mengukur tekanan dan mengirim data ke buoy.
2) Buoy juga mendeteksi perubahan ketinggian air laut dan pergerakan air.Tide gauge, biasanya ditempatkan di pantai, medeteksi perubahan gelombang.
3) Satelit. Informasi dikirim lewat satelit ke stasiun-stasiun pemantau di darat yang kemudian menilai risiko tsunami.
"Sirene gempa dan tsunami memang sudah ada, tapi ada stasiun pendeteksi tsunami di dermaga Sikakap itu rusak. Kami yang biasanya mendengar sirene waktu itu tidak terdengar sama sekali," kata Ferdinand Salamanang, warga di Kecamatan Sikakap, Pagai Utara, Kabupaten Mentawai.
Ferdinand selamat dari bencana tsunami yang menerjang Kepulauan Mentawai Senin malam (25/10), walaupun dusun tempat dia tinggal terletak sekitar 100 meter dari garis pantai.
Tetapi kampung tempat tinggalnya lenyap hampir tak ada bekas.
"Kampung saya menjadi seperti lapangan bola sekarang. Karena dari 74 unit rumah penduduk, satu unit gereja GKPM, Gereja Kristen Protestan Mentawai, satu unit Sekolah Dasar Filial 3 lokal dan TK 2 lokal rata dengan tanah. Yang tersisa hanya fondasinya saja."
Saat tsunami menghantam sekitar pukul 21.30 WIB Senin malam aktivitas warga dusun terhenti. Informasi terakhir dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatra Barat mencatat 272 orang meninggal dunia, 412 masih hilang dan sekitar 4.000 kepala keluarga tinggal di pengungsian.
Alat pendeteksi tidak berfungsi
Provinsi Sumatra Barat sebenarnya telah memasang sistem peringatan dini tsunami. Namun Kepala Pusat Informasi Dini Tsunami dan Gempa Bumi BMKG, Fauzi, mengakui sejumlah alat penyuplai data informasi dini tsunami tidak bekerja.
BMKG hanya mengandalkan alat pengukur gempa untuk menginformasikan ada tidaknya kemungkinan tsunami, sedangkanbuoy atau pelampung yang terpasang di lepas pantai untuk mendeteksi dan mengkonfirmasi data kemunculan tsunami tidak berfungsi karena dirusak.
"Alat monitornya ada yang di pantai, biasanya di pelabuhan, seperti di Teluk Bayur itu berfungsi. Kemudian yang memang tidak berfungsi itu adalah buoy di tengah laut. Nah itu memang tidak jalan," kata Fauzi.
"Kami memerlukan data dari buoy, juga dari tide gauge yang ada di pantai. Tetapi kalau tide gauge mendapat data berarti tsunaminya sudah sampai di pantai," tambahnya.
Menurut Fauzi data yang terkumpul dari alat-alat pemantau inilah yang kemudian disampaikan kepada masayarakat lewat media dan pemerintah daerah setempat.
Alat-alat seperti itu rata-rata menghabiskan kira-kira Rp5 miliar per alat,
Fauzi
Sementara itu Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT, Ridwan Jamaludin, mengaku buoy itu memang tidak berfungsi sejak sebulan lalu.
"Di Kepulauan Mentawai ada satu kita pasang. Di utara ada lagi satu yang kita pasang. Hanya persoalannya adalah perusakan-perusakan yang menjadi kendala yang masih belum bisa kita atasi. Dua-duanya dirusak. Saya menggunakan kata dirusak...... Alat-alat seperti itu rata-rata menghabiskan kira-kira Rp5 miliar per alat," kata Ridwan.
Perusakan alat ini katanya memang sering terjadi, dan belum ada kepastian kapan alat-alat pendeteksi tsunami ini akan difungsikan kembali.
Sejak tsunami tahun 2004 yang menyebabkan 200.000 orang tewas di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, sistem peringatan dini tsunami dipasang di berbagai tempat di pantai Barat Sumatra.
Namun tampaknya belum bisa berfungsi sepenuhnya, paling tidak di Mentawai.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2010/10/101027_tsunamiwarning.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar