VIVAnews – Dalam waktu kurang dari 24 jam, status Bromo naik dua tingkat, Waspada jadi Siaga, lalu naik ke level tertinggi, Awas, pada Selasa 23 November 2010 pukul 23.00 WIB. Kenaikan status Bromo lebih cepat dibandingkan Merapi. Butuh empat hari bagi Merapi sebelum mencapai level Awas, pada 25 Oktober 2010.
Tak ingin mengulang tragedi Merapi, tindakan antisipatif Bromo segera dilakukan. Wilayah radius 3 kilometer dari kawah disterilkan dari warga, juga wisatawan. Kepala Dinas ESDM Pemprov Jatim, Dewi J. Putriatni mengatakan, sterilisasi kaldera lautan pasir dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban.
Apalagi, berdasarkan pantauan, Bromo saat ini mengeluarkan asap putih setinggi 300 meter yang mengarah ke utara. Kata Dewi, asap itu mengandung racun yang bisa membahayakan manusia.
Pemerintah Malang juga siap siaga. Terutama di Kecamatan Poncokusumo yang paling dekat dengan Bromo. Evakuasi disiapkan bila Bromo meletus. Masker siap dibagikan, sementara dapur umum lengkap dengan beras 100 ton siap dioperasikan.
Dalam hal pendanaan, Pemerintah Jawa Timur bergerak cepat. Anggaran bencana dinaikkan menjadi Rp50 miliar untuk antisipasi hal-hal tak diinginkan. Posko utama didirikan, sejumlah relawan ditarik dari Merapi. Masyarakat diminta mengemas barang-barang berharga, bersiap untuk mengungsi.
Tanpa wedhus gembel
Berdasarkan pantauan seismik di pos pengamatan Gunung Bromo, Cemoro Lawang, Ngadisari Kecamatan Sukapura Probolinggo Rabu (24/11) pukul 09.45, ketinggian asap mencapai kisaran 150 hingga 200 meter. Kondisi ini jauh menurun dibandingkan dengan kondisi pagi hari yakni 200 hingga 350 meter.
Sedangkan gempa tremor Rabu siang hanya 2 hingga 3 milimeter. Menurun dibanding hari sebelumnya mencapai 5 hingga 30 milimeter. "Kondisinya saat ini kondisinya cenderung menurun. Baik secara visual maupun seismik," kata salah satu petugas pos pengamatan Gunung Bromo, Ahmad Subhan.
Ada dua kemungkinan. Aktivitas Bromo turun, atau justru gunung ini sedang menabung energi. "Yang patut diwaspadai adalah kemungkinan kedua. Karena ditakutkan sewaktu-waktu energi yang dikumpulkan dimuntahkan secara tiba-tiba," jelasnya.
Sementara, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono meminta masyarakat tak panik, namun waspada.
Dijelaskan dia, Gunung Bromo tidak sebahaya ancaman erupsi Merapi. Sebab, karakternya beda. Letusan Bromo bersifat freatik (semburan uap air dan gas bercampur abu halus), bukan eksplosif (letusan) seperti Merapi.
“Paling-paling hanya pasir dan abu yang mengganggu kenyamanan. Tidak ada pengungsian, hotel-hotel di sekitar Bromo juga dipersilakan tetap buka," ujar Surono saat ditanyai terkait peningkatan status Bromo di kantor BPPTK Yogyakarta, Selasa malam.
Bromo, dikatakan Surono, juga tidak mengeluarkan bahaya primer awan panas ‘wedhus gembel’ yang suhunya bisa mencapai 600 derajat celsius seperti halnya Merapi. "Biasanya, erupsi Bromo berlangsung cepat. Mudah-mudahan kali ini tidak tinggi," kata dia.
Bagaimanapun, antisipasi tetap dilakukan. Apalagi Bromo telah merenggut nyawa ketika erupsi kali terakhir pada 2004. Saat itu, Bromo meletus pada Selasa 8 Juni 2004 sekitar pukul 15.20 WIB. Gunung itu memuntahkan asap hitam bercampur kerikil dan abu setinggi 3 kilometer ke angkasa.
Dua wisatawan tewas tertimbun pasir. Mereka ditemukan tergeletak di bawah anak tangga menuju kawah Bromo. Lima lainnya mengalami luka-luka.
Hujan pasir berwarna cokelat turun di Probolinggo dan Malang yang nampak gelap hari itu. Letusan besar Bromo di abad ke-20 terjadi pada 1974.
‘Gunung Brahma’ yang disucikan
Serupa dengan arti Merapi bagi masyarakat di sekitarnya, Bromo juga bukan sekedar gunung – permukaan tanah yang menonjol. Bagi masyarakat Tengger, Bromo yang berasal dari nama Brahma, dewa utama Hindu, adalah gunung suci.
Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncaknya.
Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.
Keyakinan pada Bromo juga membuat masyarakat setempat memilih bertahan, apapun kondisi ‘Gunung Brahma’ itu. Menurut Wati (35), warga Dusun Ngadisari, Sukapura, ini kondisi biasa terjadi. “Tidak akan berdampak bagi kami. Dan kami tidak takut, pasti aman," katanya.
Hal senada juga diungkapkan Suroto, pengemudi angkot. Kata dia, tak perlu khawatir. "Kemarin kan diumumkan status Awas, ya cuma diumumkan saja. Buktinya kondisi aman dan dampaknya tidak akan ke sini tetapi ke daerah lain. kalau hanya hujan abu, itu sudah biasa. Kami percaya pada yang maha kuasa, disini pasti akan aman," ujar Suroto.
Turis masih datang
Status Awas Bromo tak membuat surut wisatawan yang ingin menikmati keindahannya. Foto satelit kalderanya dinobatkan sebagai salah satu paling cantik dari seluruh gunung di dunia.
Kemampuannya menarik turis juga masih mumpuni. Hari Rabu, setelah Bromo berstatus Awas, masih banyak turis datang dan mengamati Gunung Bromo dari Penanjakan, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Ada dari Jakarta, Kalimantan, bahkan jauh-jauh datang dari luar negeri.
Bahkan, empat turis asal Belgia harus dihalau turun. Mereka nekat menaiki tangga ke arah bibir kawah.
Dari Jakarta, Menteri Pariwisata, Jero Wacik mengeluarkan imbauan. "Sekarang jangan pergi dulu, jangan kesana dulu, jangan dekat-dekat. Tapi kalau melihat dari jauh, dari 3 kilometer lebih boleh, mau mengambil foto itu masih boleh," kata Jero Wacik di Kantor Kepresidenan, Rabu 24 November 2010.
Wisatawan juga diminta mengikuti anjuran. "Kalau diminta 3 kilometer kosong, yadikosongkan," kata dia.(SP|np)
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar