VIVAnews - Merapi melahirkan berbagai kisah heroik para relawan yang rela menerjang bahaya demi mengevakuasi korban. Tapi tak banyak yang tahu, bahwa di tengah lelah yang mendera dan situasi yang mencekam, para relawan terkadang harus berhadapan dengan halusinasi, yang tak urung membuat bulu kuduk merinding.
Salah satunya dialami Natsir (31), relawan yang tergabung dalam Tim SAR Jawa Timur. Ia sudah bekerja mengevakuasi korban sejak letusan pertama Gunung Merapi, 26 Oktober 2010. Namun, proses evakuasi korban di hari Sabtu kemarin, di Dusung Bronggang, Cangkringan, menjadi pengalaman tak terlupakan bagi dia.
Natsir merasakan sesak hingga ke ulu hati, saat memasuki dusun yang sudah berubah jadi gundukan pasir itu. Semua nyaris rata, hanya sedikit atap rumah yang terlihat menyembul dari gunungan pasir panas. "Bayangkan, dusun yang sangat rindang berubah layaknya gurun pasir," kenang Natsir.
Saat itu, tiap langkah jadi terasa berat. Sekonyong-konyong, entah benar atau sekadar halusinasi, ia seperti mendengar jeritan perempuan meminta tolong dari bawah gundukan pasir. Suara-suara itu terus mendesah di telinganya, terbawa angin yang menyapu abu vulkanik.
"Saya seperti tersugesti ada jeritan-jeritan suara wanita minta tolong dan bilang 'panas' di bawah tempat saya berpijak," ungkapnya. "Saya coba menggali pasir itu tapi masih sangat panas. Dan kedalamannya hampir dua meter."
Namun, ia diingatkan teman-temannya yang lain di Tim SAR agar tidak ngotot menggali pasir yang masih panas itu. Namun, yakin dengan intuisinya, Natsir berjanji akan kembali ke dusun itu untuk kembali menggali pasir itu. "Saya yakin di bawah masih ada korban, dan saya akan kembali untuk memastikannya," ia berjanji.
Bencana#BC# silih berganti tidak saja terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia. Ummat manusia perlu berkaca diri atas apa yang sudah dan akan dilakukan....
Senin, 15 November 2010
"Terdengar Jeritan 'Tolong' dari Bawah Pasir"
"Terdengar Jeritan 'Tolong' dari Bawah Pasir"
SENIN, 15 NOVEMBER 2010, 15:44 WIB
Elin Yunita Kristanti, Sandy Adam Mahaputra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar