VIVAnews - Selama 10 tahun menjadi relawan, Eko Sulistyo (37), baru di Gunung Merapi ini dia menemui medan yang begitu sulit untuk mengevakuasi korban tewas. Buat dia, evakuasi korban letusan Merapi jauh lebih sulit dibanding medan bencana alam lain, bahkan jika dibandingkan tsunami Aceh 2004 sekalipun.
Sejak tahun 2000, Eko--ayah beranak tiga--bergabung di tim relawan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU). Dia sudah berkali-kali turut menggotong mayat-mayat yang bergelimpangan di wilayah bencana. Antara lain di Bantul dan Pangandaran pada 2006, letusan Merapi pada 2006, hingga dua bencana terakhir yang menghantam Tanah Air: tsunami Mentawai, Sumatera Barat; serta banjir bandang di Wasior, Papua Barat.
"Tingkat kesulitan di Merapi sangat tinggi karena sering mengeluarkan awan panas secara tiba-tiba. Bisa dalam sehari lima kali," katanya kepada VIVAnews.com, Kamis, 11 November 2010.
Awan panas dengan frekuensi dan volume tertinggi meluncur sejak 5 November dini hari. Yang bahaya, masih kata dia, jika saat sedang menggotong mayat tiba-tiba wedhus gembel meluncur.
Jika sudah begini, tim relawan pun hanya bisa berlari lintang-pukang, sekencang yang mereka bisa, untuk menyelamatkan nyawa mereka sembari membawa mayat. Lantaran itu, tidak jarang tim evakuasi harus bolak-balik turun dari lereng Merapi.
Tidak hanya itu, di lokasi debu dan pasir sisa wedhus gembel juga masih sangat panas. "Selama di Merapi, saya sudah tiga kali ganti sepatu," katanya.
Sepatu pertama, dari jenis biasa, langsung melepuh dan meleleh tak lama setelah menginjak debu panas itu. Berganti sepatu jenis kedua, tipe boot, juga melebur karena panas. Kini, Eko memakai sepatu khusus yang biasa dipakai pemadam kebakaran. Dan lumayan, lebih awet dipakai.
Saat mengevakuasi korban, Eko yang sehari-hari mengelola permainan tembak paintballdan pengusaha onderdil mobil tua Land Rover jenis Defender ini kerap dipercaya berada di garis paling depan. Dia adalah pembuka jalan pertama saat Desa Gelagaharjo, Cangkringan, ludes diterpa awan panas. Bukan apa-apa, ini karena ia punya alat yang tak dimiliki relawan lain: tongkat dan perangkat ski es. Dengan peralatan ini, dia bisa leluasa masuk ke daerah yang baru disapu awan panas.
Eko tak pernah lupa masing-masing kondisi jasad yang dia temukan. Ada yang tangannya sudah sangat kering dan rapuh. Ada yang bagian kepala dan tulang lainnya tak lagi bisa diangkut ke kantung mayat, karena sudah begitu hancur. "Apalagi waktu Jumat dini hari, saya melihat korban di Pakem semua sudah tertutup debu. Kulit mukanya terkelupas," katanya, terbata-bata.
Selama sepuluh tahun, Eko terus menguatkan istrinya, Fifi, dan ketiga anaknya untuk mengikhlaskan dia setiap kali berangkat ke medan bencana. "Saya selalu bilang ke istri, kalau kamu melihat orang salaman dengan Obama dan SBY, itu biasa. Tapi, kalau yang menggotong mayat, menyelamatkan orang, itu yang luar biasa. Tidak semua orang bisa." (kd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar