VIVAnews - Gempa Mentawai, Sumatera Barat berkekuatan 7,2 SR yang diikuti tsunami cukup mengejutkan peneliti Indonesia dan Amerika Serikat. Ini terungkap setelah tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institute Teknologi Bandung (ITB), dan Peneliti AS terjun ke lokasi selama 10 hari.
Ketua Peneliti Kegempaan dari LIPI Danny Hilman mengatakan bahwa penelitian gabungan ini untuk mencari tahu penyebab sumber gempa, model gempa, seberapa tinggi tsunami, dan mengapa bisa timbul banyak korban di Mentawai.
Penelitian didukung oleh Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana (SKP BSB), serta difasilitasi Tim Survei Tsunami LIPI dan Earth Observatory of Singapore.
Masyarakat yang ditanyai mengatakan bahwa gempa di Mentawai tidak begitu besar. "Masyarakat mengatakan gempanya pelan tapi lama," kata Danny dalam konferensi pers di lingkungan Kantor Dewan Pertimbangan Presiden, Jakarta, Jumat 19 November 2010.
Banyak penduduk mengatakan goncangan gempa sama sekali tidak terasa, bahkan jauh lebih keras dengan goncangan saat Gempa Nias pada 2007 silam. Sehingga banyak yang berfikir tidak akan terjadi apa-apa.
Baru beberapa saat berselang, penduduk mulai merasakan getaran dan bunyi gemuruh menggelegar di bibir pantai. Ternyata tak disangka bahwa gempa pelan yang terjadi saat itu mampu menimbulkan gelombang gempa 8 meter dan tertinggi 14 meter.
"Tingginya gelombang ini makin ke utara makin kecil hanya 5-6 meter," kata Manager Coastal Science Group Jose Borrero menyebut hasil survei.
Setara 8 SR
Peneliti sendiri, lanjut Jose, mulanya dalam simulasi tidak menemukan bahwa gempa pelan itu bisa menimbulkan tsunami sampai 14 meter. Tapi setelah menghimpun keterangan masyarakat bahwa gempa yang pelan dan berlangsung lama itu benar-benar memicu tsunami yang tinggi.
"Ini pembelajaran buat kita, gempa pelan tapi kalau lebih dari satu menit, dalam ilmu seismologi artinya sama dengan magnitudenya lebih dari 8 SR, kalau setengah menit itu lebih dari 7 SR. Jadi hati-hati," kata Danny menyimpulkan.
Associate Professor Georgia Institute of Technology Savannah Hermann M Fritz mengatakan, bahaya gempa seperti ini jarang diketahui masyarakat. "Gempa serupa pernah terjadi di Pangandaran," kata Herman.
Tapi peneliti memaklumi Pangandaran, Jawa Barat, banyak korban karena daerah ini padat penduduk, sehingga wajar korban mencapai 600-an. Berbeda dengan Mentawai di mana lokasinya berpenduduk sedikit.
"Tapi kenapa korban banyak?" tanya Herman. Hasil penelitian menyebutkan gempa yang pelan dan terjadi malam hari, menyebabkan tidak banyak masyarakat yang menyadari bahaya itu.
Herman menjelaskan, ketika gempa pada malam itu tidak semua penduduk bisa terevakuasi. Bahkan ditemukan sebuah desa di Sibalengge, di mana 190 dari 200 penduduk tewas. Ini terjadi karena penduduk tinggal di bibir pantai dan di sekitarnya dialiri oleh sungai.
"Mereka dikelilingi sungai sehingga saat tsunami tidak bisa ke mana-mana," katanya. (umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar