VIVAnews - Cuaca ekstrim. Harga melambung. Inflasi melonjak. Inilah kabar buruk bagi ekonomi dunia belakangan ini. Angka inflasi ekonomi Indonesia, misalnya, sepanjang tahun 2010 sebesar 6,96 persen. Jumlah itu jauh melampaui target pemerintah sebesar 5,3 persen, juga jauh di atas target Bank Indonesia.
Lonjakan inflasi itu diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Senin kemarin, 3 Januari 2011.
Kepala BPS, Rusman Heriawan, dalam siaran persnya menegaskan bahwa penyumbang terbesar kenaikan inflasi itu adalah bahan makanan. "Nilainya mencapai 3,5 persen," kata dia. Lihatlah data sepanjang Desember 2010 berikut ini. Harga bahan makanan naik hingga 2,81 persen. Harga makanan naik 0,36 persen.
Adalah beras yang menjadi salah satu pemicu kenaikan inflasi itu. Data yang dihimpun BPS menunjukkan bahwa lonjakan harga beras menyumbang kenaikan terhadap inflasi sebesar 1,29 persen. Dengan angka sebesar itu, maka produk ini menjadi komoditas penyokong inflasi tertinggi.
Sesudah beras, sumbangan terhadap inflasi itu disusul sembilan komoditas lain. Seperti tarif listrik yang menyokong inflasi 0,36 persen, cabai merah (0,32 persen), emas perhiasan (0,27 persen), bawang merah (0,25 persen), nasi dengan lauk (0,24 persen), cabai rawit (0,22 persen), jasa perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan/STNK (0,22 persen), rokok kretek filter (0,16 persen), dan daging ayam ras (0,15 persen).
Dan tahun 2011 ini gambarannya lebih suram lagi. BPS memperkirakan bahwa jika tidak diantisipasi, harga beras bisa melonjak dua kali lipat. Repotnya, beras kerap kali menjadi lokomotif kenaikan harga. Jika harga beras naik dua kali lipat, harga kebutuhan pokok lain akan terkerek. Angka inflasi bisa terus melambung.
Karena Cuaca Ekstrim
Semua kabar buruk itu disebabkan oleh cuaca yang ganas sepanjang tahun 2010. Desember lalu, Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengumumkan bahwa 2010 adalah tahun terpanas sepanjang 130 tahun terkahir. Suhu di Rusia mencapai 37,8 derajat celsius.
Suhu sepanas itu membakar hutan dan lahan gambut. Negeri Leo Tolstoy itu dikurung asap berpekan lamanya. Sekitar 700 orang tewas.
Cuaca itu memang sungguh esktrim. Panas membakar di Rusia, banjir bandang di belahan bumi yang lain. Di Pakistan, hujan mengguyur 36 jam. Sungai Indus meluap. Dan 14 juta rakyat dihantam banjir. Pemerintah Pakistan mengumumkan bahwa itulah banjir terparah seumur negeri itu.
Di China, negeri dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, dilanda banjir yang disebut terburuk selama satu dekade terakhir, terutama di provinsi di barat laut, Gansu. Banjir dan longsor menewaskan 1.117 orang.
Cuaca buruk itu juga menghinggapi Indonesia. Suhu muka air laut meningkat cepat. Mempercepat penguapan. Awan kian mudah terbentuk. Dan itulah yang menyebabkan hujan sepanjang tahun di seluruh negeri.
Hujan sepanjang tahun itu merusak pola bertani, merusak tanaman, juga padi, menyebabkan menipisnya stok beras, yang dengan sendirinya akan menggerek harga.
Gangguan terhadap pertanian itu juga melanda sejumlah negara di kawasan Asia. Thailand dan Vietnam, dua negeri pengekspor beras terbesar di kawasan Asia Tenggara, sudah mengumumkan bahwa mereka akan membatasi jumlah ekspor beras.
Dalam cuaca yang serba tidak pasti ini, dua negeri itu memilih memenuhi kebutuhan dalam negeri ketimbang mengekspor. Jika batasan itu dilakukan secara ketat, Indonesia yang kerap mengimpor beras dari dua negeri itu, jelas akan kesulitan.
Itu sebabnya, Rusman Heriawan berharap pemerintah segera mengambil langkah antisipatif terhadap kemungkinan adanya lonjakan kenaikan harga beras. Sebab, beras merupakan faktor utama penyebab naiknya laju inflasi di Indonesia.
BPS menyarankan agar pemerintah mau memanjakan petani selama kondisi anomali cuaca berlangsung. Hal itu diharapkan bisa merangsang petani meningkatkan produksi beras. "Itu satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi beras tahun depan," ujarnya.
Harga beras internasional saat ini terus melambung di atas US$500 per ton. Beras di Thailand Senin 3 Januari diperdagangkan pada US$500 per ton, dan di Vietnam US$470. Sedangkan di Amerika Selatan US$565, di California US$875, dan di Argentina US$535 per ton.
Harga beras terus melambung dari kisaran US$160 pada 2001. Berlahan naik hingga puncaknya pada 2008, sekitar US$900 per ton. Lalu turun menjadi US$400 pada awal 2010, dan kembali naik ke US$525 - 530 per ton pada akhir 2010.
Pengusaha Sofjan Wanandi juga mengungkapkan keprihatinannya mengenai lonjakan harga pangan, khususnya beras. "Kalau kita semahal-mahalnya beras masih bisa makan, kalau rakyat miskin?" katanya.
Kondisi ini bila dibiarkan justru membahayakan pemerintah. Sebab tidak jarang pemerintahan harus tumbang karena rakyatnya kelaparan. Karena itu, pemerintah harus secepatnya mengatasi dengan mengimpor beras sebanyak-banyaknya. "Tidak ada jalan lain selain impor," katanya.
Baru setelah mengamankan stok, pemerintah mulai memberi stimulus kepada petani agar bisa menanam kembali. "Saat ini petani banyak yang gagal panen. Mereka memiliki banyak utang. Kasih dia modal untuk beli bibit dan pupuk," ujarnya.
Tak Perlu Cemas
Wakil Menteri Keuangan Bayu Krisnamurthi mengimbau masyarakat tidak cemas atas lonjakan harga pangan dunia. Pada Desember lalu, pemerintah telah mendapat kontrak impor beras sebanyak 900 ribu ton. Beras-beras ini akan datang hingga dua bulan ke depan. "Kami telah mendapat kontrak seharga US$450," kata dia kepada VIVAnews.com.
Selain itu, Bayu melanjutkan, mulai pertengahan Januari petani Grobogan, Jawa Tengah, sudah memulai panen. Panen akan terus berlangsung hingga puncaknya pada Maret-April 2011. "Tidak akan mudah (mengatasi mahalnya harga beras), tapi mudah-mudahan situasinya tidak akan terlalu buruk," ujar dia melalui pesan singkat.
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso beberapa waktu lalu mengatakan, Perum Bulog telah mengantongi cadangan beras 1,2 juta ton yang di dalamnya termasuk kontrak pembelian beras impor dari Thailand sebanyak 600 ribu ton.
"[Walau harga beras internasional naik] Kemampuan Bulog membeli beras masih ada, karena kami menyerap beras dalam negeri yang harganya lebih rendah," ujar dia.
Sebenarnya, pemerintah telah menerbitkan dua Instruksi Presiden untuk mensikapi cuaca ekstrim ini. Pertama, Inpres yang memberikan fleksibilitas kepada menteri pertanian untuk merespons perubahan iklim ekstrim. "Baik fleksibilitas musim tanam atau intervensi hama," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa.
Kedua, Inpres yang akan memberikan fleksibilitas kepada Bulog untuk menyuplai dan membeli beras petani. "Fleksibilitas tidak hanya pada kualitas tertentu, tapi Bulog bisa menyediakan beras petani dalam kualitas apa pun," tutur Hatta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar